Tinjauan Umum

Buah Sebagai  Makanan Utama

Setelah Sereal & Kacang-Kacangan

Buah adalah organ pada tumbuhan berbunga yang merupakan perkembangan lanjutan dari bakal buah (ovarium). Buah biasanya membungkus dan melindungi biji. Aneka rupa dan bentuk buah tidak terlepas kaitannya dengan fungsi utama buah, yakni sebagai pemencar biji tumbuhan. Dalam batasan tersebut, variasi buah bisa sangat besar, mencakup buah mangga, buah apel, buah tomat, cabai, dan lain-lain. Namun juga bulir (kariopsis) padi, ‘biji’ (juga merupakan bulir!) jagung, atau polong kacang tanah. Sementara, dengan batasan ini, buah jambu monyet atau buah nangka tidak termasuk sebagai buah sejati.

Pengertian buah dalam lingkup pertanian (hortikultura) atau pangan adalah lebih luas daripada pengertian buah di atas dan biasanya disebut sebagai buah-buahan. Buah dalam pengertian ini tidak terbatas yang terbentuk dari bakal buah, melainkan dapat pula berasal dari perkembangan organ yang lain. Karena itu, untuk membedakannya, buah yang sesuai menurut pengertian botani biasa disebut buah sejati. Buah dalam pengertian hortikultura atau pangan merupakan pengertian yang dipakai oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini, batasan buah menjadi longgar. Istilah “buah-buahan” dapat digunakan untuk pengertian demikian. Buah-buahan adalah setiap bagian tumbuhan di permukaan tanah yang tumbuh membesar dan (biasanya) berdaging atau banyak mengandung air.

Seringkali dijumpai, buah sejati (dalam pengertian botani) yang digolongkan sebagai sayur-sayuran, seperti buah tomat, buah cabai, polong kacang panjang, dan buah ketimun. Namun, dapat dijumpai pula, buah tidak sejati (buah semu) yang digolongkan sebagai buah-buahan, seperti buah jambu monyet (yang sebetulnya merupakan pembesaran dasar bunga; buah yang sejati adalah bagian ujung yang berbentuk seperti monyet membungkuk), buah nangka (yakni pembesaran tongkol bunga; buah yang sejati adalah isi buah nangka yang berwarna putih (Jw. beton), bergetah, sedangkan bagian ‘daging buah’ yang dimakan orang adalah tenda bunga), atau buah nanas.

Buah seringkali memiliki nilai ekonomi sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri karena didalamnya disimpan berbagai macam produk metabolisme tumbuhan, mulai dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, alkaloid, hingga terpena dan terpenoid. Ilmu yang mempelajari segala hal tentang buah dinamakan pomologi.

Buah identik dengan bahan pangan yang dapat di makan mentah atau tanpa di olah dulu. Dalam keseharian kita, buah seringkali dianggap sebagai pencuci mulut, karena biasanya orang akan menyantap buah setelah selesai makan. Meskipun sebenarnya, tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa buah hanya bisa dimakan setelah makan. Kapan pun anda sempat, memakan buah tertentu dengan porsi tertentu dalam waktu tertentu adalah di anjurkan. Bahkan ada juga buah yang banyak mengandung karbohidrat sehingga sesekali dapat menjadi sumber energi, seperti pisang.

Buah-buahan merupakan makanan utama yang penting setelah sereal dan kacang-kacangan. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan manfaatnya. Manfaat buah buahan untuk kesehatan dan menghilangkan penyakit tentu sangat beragam, manfaat buah buahan dapat menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Beberapa artikel mengenai Manfaat buah memang telah banyak dibahas, namun sebenarnya manfaat ini dapat beragam tergantung dari buah dan jenisnya. Dengan mengkonsumsi buah maka kita akan mendapatkan gizi dan menjaga kesehatan kita. Buah juga dapat meningkatkan energi dan kebutuhan vitamin pada tubuh manusia. Berikut adalah beberapa manfaat buah buahan yang harus kita ketahui sebelum mengkonsumsi buah tersebut. Berikut adalah manfaat buah untuk tubuh kita :

  • Sumber vitamin, Buah merupakan sumber vitamin dan berbagai jenis vitamin ada di buah.
  • Sumber Air dan Gizi, buah merupakan salah satu sumber air untuk tubuh dan kebutuhan gizi yang dapat meningkatkan metabolisme tubuh.
  • Sumber antioxidan, buah merupakan salah satu sumber antioxidant alami terbesar yang ada di dunia.
  • Mencegah penyakit tertentu. Buah-buahan merupakan salah satu cara untuk menghindarkan kita agar tidak terserang penyakit berbahaya dan berbagai penyakit lainnya.
  • Obat luar tubuh, Buah-buahan juga dapat digunakan untuk menggunakan obat luar seperti jerawat, bisul, dan sebagainya.

Manfaat buah buahan memang melebihi yang kita ketahui bersama, namun ada beberapa buah buahan yang harus kita waspadai dalam mengkonsumsinya. Hal ini karena ada beberapa buah buahan yang mengandung lemak dan gula yang berlebihan. Dalam tulisan ini konteks buah yang dibahas yaitu dari sisi botani yang dapat dimakan (edible), tidak hanya buah-buahan asli dari Indonesia juga yang diintroduksi dari luar negeri  baik dari daerah tropis maupu subtropis.

 

Keanekaragaman Tumbuhan Buah di Indonesia

Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang memiliki tipe hutan hujan tropik dengan keanekaragaman jenis tertinggi di dunia. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan Indonesia juga cukup tinggi, telah ditemukan lebih dari 329 jenis buah-buahan baik yang merupakan jenis asli Indonesia maupun pendatang dapat ditemukan di Indonesia. Buah-buahan asli Indonesia telah ditemukan sebanyak 266 jenis baik yang tumbuh liar di hutan maupun yang telah dibudidayakan. Buah-buahan asli Indonesia ini tergolong dalam jenis pohon, liana, perdu, herba, dan semak. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 62 jenis buah asli Indonesia yang telah dibudidaya, 18 jenis merupakan tanaman endemik dan 4 jenis termasuk tumbuhan langka (Uji 2007).

Wilayah persebaran buah di Indonesia tercatat di Sumatra (148 jenis), Kalimantan (144 jenis), Jawa (96 jenis), Sulawesi (43 jenis), Maluku (30 jenis), Nusa Tenggara (21 jenis), dan Papua (16 jenis) serta 34 jenis lainnya tersebar diseluruh Indonesia. Sayangnya, keanekaragaman jenis buah di Indoenesia ini belum dikembangkan dan dimanfaatkan secara baik sehingga masih banyak buah-buah impor yang ada di pasar-pasar Indonesia (Uji 2007).

Buah-buah tersebut memiliki berbagai macam jenis dengan keunggulan masing-masing misalnya, buah durian terdapat 9 jenis yang dapat dimakan. Varietas buah durian di Indonesia hampir puluhan bahkan ratusan varietas yang sangat beragam baik dalam rasa, bau, tekstur dan warna daging buahnya, juga variasi dalam bentuk dan ukuran buah, duri-duri pada kulit buah dan bijinya selain itu ditemukan juga durian yang berbiji kempes atau tidak berbiji. Hal ini merupakan modal besar untuk melakukan usaha pemulian durian di Indonesia dan dapat dikembangkan (Uji 2007).

Buah mangga tercatat ada 23 jenis mangga asli Indonesia yang dapat dimakan, 14 jenis diantaranya telah dibudidayakan dan 3 jenis merupakan tumbuhan yang endemik. Ketiga jenis mangga yang endemik adalah M. casturi, M. pajang dan M. havilandii. Besarnya keanekaragaman jenis dan plasma nutfah Mangifera spp. di Indonesia khususnya di Kalimantan akan memberikan harapan dalam pengembangannya melalui usaha pemuliaan mangga. Pemuliaan pada buah-buah asli Indonesia ini penting untuk dilakukan agar buah di Indoensia tercukupi sehingga dapat mengurangi impor buah.

Di Indonesia yang merupakan negara beriklim tropis, kita banyak menemui berbagai jenis buah-buahan yang di beberapa tempat di belahan dunia tidak di temukan. Contohnya buah durian. Berdasarkan sifat dan karekteristiknya, buah-buahan di kelompokan menjadi beberapa golongan, yaitu:

  1. Buah berdasarkan musim berbuahnya
  • Buah musiman, contonya: durian, mangga, kedondong, duku, rambutan, dll
  • Bukan buah musiman, contohnya: nanas, pisang, pepaya, jambu air, dll
  1. Buah berdasarkan iklim tempat tumbuhnya
  • Buah tropis, buah dari tanaman yang tumbuh iklim panas atau tropis
  • Buah sub tropis, buah dari tanaman yang tumbuh di iklim sedang
  1. Buah berdasarkan proses pematangannya
  • Buah klimaterik, yaitu buah yang setelah di panen dapat menjadi matang hingga terjadi pembusukan. Contohnya: pisang, pepaya, mangga, jambu biji, apel, dll.
  • Buah non klimaterik, yaitu buah yang setelah di panen tidak akan mengalami proses pematangan tetapi langsung kearah pembusukan. Contohnya: semangka, nanas, anggur, jambu air, dll

Buah-buahan dapat di komsumsi dalam keadaan segar ataupun melalui proses pengolahan dan pengawetan terlebih dulu. Setelah teknologi pengalengan menjadi sangat populer, ada juga buah yang di olah untuk kemudian dikalengkan. Pengalengan buah yang terkenal adalah buah nanas dan buah leci.

Kekayaan keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia yang melimpah   sampai sekarang  belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan banyaknya buah-buahan import yang beredar diberbagai kota di Indonesia. Oleh karena itu kekayaan sumber daya hayati yang melimpah di Indonesia ini perlu didayagunakan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah- buahan.Tercatat paling sedikit ada 4 marga dari 4 suku buah-buahan asli Indonesia yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan juga mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Masing-masing adalah suku Anacardiaceae (marga Mangifera), Clusiaceae (marga Garcinia), Sapindaceae (marga Nephelium) dan suku Bombacaceae (marga Durio). Empat jenis komoditas buah-buahan dari  keempat marga tersebut telah ditetapkan sebagai “buah-buahan unggulan nasional”, masing-masing adalah buah mangga, manggis, rambutan dan durian(Winarno, 2000).

Jumlah jenis buah-buahan asli Indonesia yang dapat dimakan baik langsung maupun diolah terlebih dahulu berjumlah 270 jenis dari 38 famili (Uji 2007). Jika dibandingkan dengan jumlah keanekaragaman buah-buahan yang dapat dimakan di Asia Tenggara yaitu sekitar 400 jenis (Prosea 1991), maka keanekaragaman buah-buahan asli Indonesia memiliki proporsi 67,5% dari total keragaman buah-buahan di Asia Tenggara. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia kaya dengan keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah buah- buahannya. Oleh karena itu merupakan peluang besar untuk dapat meningkatkan kualitas dan produksi buah- buahan asli Indonesia melalui usaha pemuliaan tanaman buah-buahan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber Keragaman Tumbuhan

  1. Adaptasi terhadap lingkungan

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang ada di muka bumi ini adalah terjadi melalui proses evolusi dan juga kontribusi faktor-faktor ekologi. Ketiga dimensi, yaitu keanekaragaman, evolusi, dan ekologi saling berpengaruh satu sama lain. Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah aspek yang sangat penting bagi  suatu ekosistem dan secara keseluruhan mengacu pada semua tingkatan organisasi biologi dari semua  kehidupan yang ada di bumi meliputi tumbuhan, hewan, jamur, dan mikroorganisme serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup. Termasuk di dalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut, maupun sistem perairan lainnya (Eldredge 2002 ; Gaston dan Spicer 2004).

Keanekaragaman hayati yang saat ini bisa kita nikmati, sejatinya merupakan produk evolusi yang terjadi selama berjuta-juta tahun silam. Keanekaragaman tumbuhan mengacu kepada besarnya variasi jenis tumbuhan yang hidup di dunia. Keanekaragaman merupakan suatu paradoks dari konsep mempertahankan spesies, karena di satu pihak, suatu spesies harus melestarikan komposisi dan struktur gennya, sedangkan di pihak lain, proses evolusi menghendaki suatu organisme untuk selalu menjadi beraneka ragam. Perubahan melalui proses evolusi menghasilkan proses diversifikasi terus menerus di dalam makhluk hidup. Keanekaragaman hayati meningkat ketika variasi genetik baru dihasilkan, spesies baru berevolusi, atau ketika satu ekosistem baru terbentuk; keanekaragaman hayati akan berkurang dengan berkurangnya spesies, satu spesies punah atau satu ekosistem hilang maupun rusak. Proses evolusi organisme dalam hal ini masyarakat tumbuhan terjadi karena adanya respon melalui mekanisme toleransi dan adaptasi terhadap faktor ekologi sebagai faktor pembatas (Eldredge 2002 ; Cronk 2004; Husband 2004; Rodel 2010). Lingkungan sebagai faktor ekologi merupakan sistem komplek yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Faktor ekologi bersifat dinamis dalam arti berubah-ubah setiap saat, sehingga perubahan yang terjadi dari faktor ekologi terhadap makhluk hidup khususnya tumbuh-tumbuhan akan berpengaruh dan menentukan proses kehidupan dan kehadiran tumbuh-tumbuhan atau organisme lainnya (Polunin 1994; Sukhla dan Chandel 1996).

Ada banyak faktor ekologi yang berperan dalam menentukan keanekaragaman suatu spesies. Semakin beraneka ragam kondisi suatu lingkungan akan semakin beragam pula sifat-sifat, jenis, keanekaragaman dan persebaran tumbuh-tumbuhan sebagai wujud dari toleransi dan adaptasi tumbuhan, sebagaimana dipaparkan oleh Lobo (2008). Berbagai kajian ekologis telah dilakukan, dan faktor-faktor ekologi yang dirangkum dari berbagai sumber secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik meliputi faktor iklim termasuk di dalamnya adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, angin, dan gas-gas udara (Rodel 2010), polutan dan radiasi (Cohen 2011), serta pemanasan global (Northfield dan Ives 2013).  Faktor abiotik berikutnya adalah letak geografis terkait dengan derajat bujur dan lintang, topografi seperti ketinggian dan bentuk medan, geologi, serta faktor edafis meliputi jenis tanah dan faktor fisik (profil, struktur, tekstur, aerasi), sifat kimia ( kandungan hara dan kandungan senyawa organik). Faktor biotik meliputi interaksi dengan tumbuhan lain berupa persaingan, parasitisme, dan simbiosis. Keberadaan hewan juga berperan dalam membantu proses penyerbukan, penyebaran buah dan biji, proses memakan, dan penularan penyakit. Mikroba berperan dalam menguraikan bagian-bagian tumbuhan melalui proses pembusukan. (Soerianegara dan Indrawan 1998; Oneal, dan Knowles 2013; Slootweg 2014).

Beberapa contoh adaptasi tumbuhan terhadap faktor ekologi yang terkait dengan kesesuaian habitat dengan kelembaban udara, tumbuhan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu tumbuhan hidrofita mampu beradaptasi dengan lingkungan perairan misalnya Hidrilla verticillata; xerophyta tumbuhan yang mampu beradaptasi di lingkungan yang kering contohnya Opuntia sp; mesofita tumbuhan yang hidup di habitat yang tidak berlebihan dan kekurangan air contohnya Tamarindus indica. Contoh lainnya adalah adaptasi tumbuhan terhadap kebutuhan relatif tumbuhan akan cahaya, terdapat dua kelompok yaitu tumbuhan heliofita dan tumbuhan skiofita. Tumbuhan kelompok heliofita, contohnya nangka (Arthocarpus sp) akan tumbuh baik pada cahaya yang cukup, sebaliknya tumbuhan skiofita, contohnya pohon kopi (Coffea robusta), akan tumbuh baik pada cahaya dengan intensitas rendah.

Lebih jauh Oneal, dan Knowles (2013) menyatakan bahwa,  faktor ekologi tidak saja berpengaruh terhadap kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangan masyarakat tumbuhan atau vegetasi di suatu wilayah, namun juga ditentukan oleh amplitudo ekologi suatu wilayah termasuk diantaranya adalah ada atau tidak adanya kehadiran jenis tumbuhan, kekuatan dan kelemahan jenis tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang, serta keberhasilan dan kegagalan dari vegetasi dalam bermigrasi. Amplitudo ekologi diartikan berbeda-beda oleh para ahli namun konsep dasarnya adalah sebagai kemampuan suatu makhluk hidup berada pada batas rentang toleransi ekologi terendah dan tertinggi dan mampu melakukan fungsi dengan baik (Sukhla dan Chandel 1996; Agarwal 2008). Suatu spesies yang memiliki amplitudo ekologi rendah, akan memiliki kemampuan distribus yang terbatas karena tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi habitat lainnya. Sukhla dan Chandel  (1996) juga menambahkan bahwa setiap jenis tumbuhan atau masyarakat tumbuhan di suatu habitat merupakan perwujudan atau pencerminan dari hasil adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang ada. Spesies yang tidak dapat menyesuaikan akan mengalami kepunahan. Atas dasar distribusi spasial tumbuh-tumbuhan, beberapa jenis tumbuhan mempunyai toleransi terhadap faktor ekologi yang bersifat sempit (steno) atau luas (euri). Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai petunjuk dan indikator terhadap kondisi lingkungan dan dikenal sebagai fitoindikator (Othman 2014). Sebagai contoh tumbuhan Olive (Olea europaea) digunakan sebagai indikator terhadap polutan dengan parameter molekuler dan fisiologi (Eliwa dan Kamel 2013), beberapa jenis tumbuhan sebagai indikator keadaan humus di tanah seperti Impatiens balsamina dan Strobilanthes sp., serta beberapa jenis tumbuhan sebagai indikator kandungan mineral yang ada di dalam tanah seperti Allium sp. untuk kandungan belerang (S), Viola lutea untuk kandungan seng (Zn).

Setiap jenis tumbuhan pada dasarnya memiliki rentang toleransi terhadap amplitudo ekologi, sehingga keberadaan suatu spesies di suatu habitat menunjukkan bahwa kondisi lingkungannya sesuai dengan amplitudo ekologi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berbagai spesies akan memiliki amplitudo ekologi yang berbeda pula. Secara spasial amplitudo ekologi suatu spesies tumbuhan sangat ditentukan oleh perangkat genetik yaitu perangkat sifat-sifat menurun yang tersusun dari rangkaian DNA yang memiliki karakteristik dan respon khusus terhadap amplitudo ekologi tertentu.  Semua organisme mempunyai kisaran toleransi. Di luar batas kisaran toleransi, maka organisme tersebut tidak dapat bertahan lama. Adanya interaksi antara organisme dengan faktor-faktor ekologi dalam proses evolusi suatu jenis tumbuhan adakalanya dapat berhasil dan hasilnya tidak tergantung pada berapa lama tumbuhan dapat bertahan hidup dan mempertahankan keberadaannya, atau berapa banyak sumber daya yang dapat diperoleh tumbuhan tersebut, akan tetapi dititikberatkan pada berapa banyak gen yang diturunkan individu kepada generasi berikutnya. Berdasarkan hal  tersebut, proses adaptasi berhubungan erat dengan bagaimana tumbuhan berinteraksi dengan lingkungannya yang dapat mempengaruhi potensi reproduksi secara genotip dan kemudian ditampilkan melalui perwujudan fenotipnya. Dengan kata lain bahwa semua aspek tersebut dipengaruhi oleh gen. Ekspresi gen dapat kita amati dalam bentuk yang sangat beraneka ragam berupa variasi fenotipe berupa sifat dan ciri tumbuhan, misalnya keanekaragaman bentuk hidup, ukuran, struktur, fungsi, perawakan (habitus), tanggapan terhadap faktor lingkungan, dan sebagainya.

Variasi jenis tanaman berasal dari mutasi bahan genetik, migrasi antar populasi (aliran gen), dan perubahan susunan gen melalui reproduksi seksual. Variasi juga datang dari tukar ganti gen antara spesies yang berbeda; contohnya melalui mekanisme hibridisasi pada tanaman. Walaupun terdapat variasi yang terjadi secara terus menerus melalui proses-proses ini, kebanyakan genom spesies adalah identik pada seluruh individu spesies tersebut (Nei M dan Nozawa M, 2011). Variasi genetika berasal dari mutasi acak yang terjadi pada genom organisme. Variasi jenis tumbuhan sebagian besar dipengaruhi lingkungan fisik tempat tumbuhnya yang berlangsung pada saat ini dan pada masa lalu. Sebagai suatu unit kehidupan yang termasuk dalam kelompok taksa tertentu, tumbuhan memiliki pola distribusi yang luas atau hanya terbatas pada wilayah tertentu. Sifat distribusi dapat sambung menyambung dengan wilayah lain (continue) atau terpisah dengan wilayah lainnya yang berjauhan (discontinue). Whittaker et.al (2007) mengelompokkan menjadi tiga kelompok taksa tumbuhan yaitu tumbuhan yang tersebar luas, tumbuhan endemik, dan tumbuhan discontinue. Tumbuhan yang tersebar luas atau disebut tumbuhan kosmopolit adalah kelompok taksa tumbuhan yang penyebarannya mencakup berbagai zona iklim, contohnya adalah Taraxacum officinale, Chenopodium album, Plantago mayor, serta dari famili Gramineae (Shukla dan Chandel 1996). Tumbuhan endemik, anggotanya hanya dapat tumbuh di wilayah yang terbatas dan berada pada wilayah yang tidak terlalu luas. Biasanya daerah sebaran dibatasi oleh penghalang (barrier) seperti lembah, bukit, atau pulau. Sebagai contoh di Papua diperkirakan memiliki sekitar 60-90% tumbuhan merupakan spesies endemik dari 38.000 spesies endemik di Indonesia (Suprijatna 2008). Tumbuhan discontinue, adalah tumbuhan yang terpisah pada dua ata lebih wilayah yang berjarak puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan kilometer oleh adanya penghalang berupa gunung maupun pulau-pulau, antara lain Larrea tridentata dan Empetrum nigrum.

 

  1. Proses Evolusi

Beragamnya  tumbuhan yang ada di muka bumi terjadi melalui proses evolusi. Bukti bahwa evolusi merupakan sumber keanekaragaman bisa diperoleh dari fosil, distribusi sifat-sifat umum kelompok organisme, variasi geografi, dan studi lingkungan (Judd et al. 2002). Sumber variasi dapat berupa mutasi dan rekombinasi genetik (Alters & Alters 2006).  Dari sudut pandang genetika, evolusi ialah perubahan pada frekuensi alel dalam populasi yang saling berbagi lungkang gen (gene pool) dari generasi yang satu ke generasi yang lain (Stoltzfus 2006). Beberapa faktor yang menimbulkan keanekaragaman adalah adanya mutasi gen, mutasi pada segmen kromosom melalui duplikasi, delesi, translokasi, transposisi, dan inversi. Selain itu juga terjadi mutasi pada jumlah kromosom yaitu terjadinya mekanisme ploidi berupa pengurangan atau penambahan satu set kromosom atau lebih, meliputi haploidi, diploidi, triploidi, dan tetraploidi. Cohen (2011) memaparkan bahwa evolusi terjadi karena adanya mutasi sebagai akibat dari polutan dan radiasi yang terjadi di wilayah bekas bencana radiasi Chernobyl. Cohen membuktikan setelah 25 tahun bencana nuklir di Chernobyl dicatat sebanyak lebih dari 100 species mengalami kepunahan, namun ditemukan sebanyak 40 species yang belum pernah ditemukan sebelum terjadinya bencana. Hal ini diduga setelah terjadinya kecelakaan tersebut, organisme yang rentan mengalami kepunahan, sementara organism yang mampu bertahan, terus berkembang biak melalui proses adaptasi yang memungkinkan mereka hidup dalam lingkungan radioaktif. Jenis tanaman lainnya yang  juga telah bermutasi, yaitu hutan pinus yang berubah dari hijau ke merah, dengan daun jarum yang lebih panjang dari sebelumnya. Hal ini sekarang dikenal sebagai “Red Forest.” Pada kesempatan lain, Northfield dan Ives (2013) menyebutkan bahwa pemanasan global memiliki potensi untuk menyebabkan kepunahan lokal spesies, dan dapat mengubah komposisi komunitas dan ekosistem. Pendapat ini didukung oleh Sajise et al (2013). Perubahan dalam kepadatan satu spesies akan mempengaruhi kepadatan spesies lain melalui interaksi mereka. Misalnya, pengurangan kepadatan penyerbuk akibat perubahan iklim global telah menyebabkan kepunahan lokal beberapa spesies tumbuhan.

Terjadinya spesiasi tergantung pada sistem reproduksi, ukuran populasi , bottleneck efek, dan faktor lingkungan, seperti suhu dan panjang hari. Beberapa penulis menekankan pentingnya seleksi alam untuk mempercepat spesiasi, namun mutasi sangat penting dalam spesiasi karena hambatan reproduksi tidak dapat dihasilkan tanpa mutasi (Nei dan Nozawa 2011). Ia juga menyatakan bahwa polyploidi dan penyusunan ulang kromosom memainkan peran penting untuk menghasilkan spesies baru dan bahkan duplikasi gen segmental dapat menyebabkan pembentukan spesies baru. Proses  spesiasi dapat berlangsung lambat yang memerlukan waktu ratusan hingga jutaan tahun (Buswell 2011), namun spesiasi juga dapat berlangsung cepat. Salah satu proses yang dapat memicu proses spesiasi adalah hibridisasi.

Hibridisasi merupakan cara spesiasi yang penting pada tanaman, karena poliploidi (memiliki lebih dari dua kopi pada setiap kromosom) dapat lebih toleran pada tanaman dibandingkan hewan. Poliploidi sangat penting pada hibrid karena memungkinkan reproduksi, dengan dua set kromosom yang berbeda, tiap-tiap kromosom dapat berpasangan dengan pasangan yang identik selama meiosis. Poliploid juga memiliki keanekaragaman genetika yeng lebih, yang mengijinkannya menghindari depresi penangkaran sanak (inbreeding depression) pada populasi yang kecil.         

Hibridisasi memiliki banyak dan beragam dampak pada proses spesiasi. Hibridisasi dapat memperlambat atau sebaliknya dapat mempercepat spesiasi melalui introgresi adaptif atau menyebabkan spesiasi instan oleh allopolyploidi (Abbortt et al 2013). Allopoliploid adalah hasil penggandaan kromosom yang terbentuk melalui genom-genom yang berbeda (Meimberg 2009). Diperkirakan sebanyak 2-4% tumbuhan berbunga dan 7% tumbuhan paku-pakuan adalah produk dari hibridisasi poliploid.  Judd et.al 2008 menyatakan bahwa mutasi terbesar adalah pada peristiwa poliploidi dan memegang peranan penting dalam proses evolusi tumbuhan. Poliploid juga sebagai pemicu terjadinya proses spesiasi cepat (poliploid speciation). Dari ratusan spesies paku-pakuan yang memiliki jumlah kromosom banyak, diperkirakan sebanyak 95% adalah poliploid.

 

  1. Spesiasi Karena Isolasi Geografi

Mekanisme spesiasi dikelompokkan menjadi dua  bagian, yaitu mekanisme spesiasi prakawin dan mekanisme spesiasi pasca kawin (Iskandar 2007). Mekanisme spesiasi prakawin meliputi : isolasi geografi (Papadopulos 2013), musim, morfologi atau struktural, fisiologis, inang, partenogenesis, plasmid sitoplasmik, kromosom (Nevo 2012), dan makrogenesis. Mekanisme spesiasi pasca kawin meliputi kematian gamet, kematian zigot, kematian embrio, sterilitas, semiletal, degenerasi keturunan, dan hibridisasi.

Kebanyakan tanaman budidaya adalah hibrid dan hibridisasi memegang peranan penting dalam spesiasi beberapa kelompok tumbuhan. Proses pembentukan allopoliploid terjadi di alam antar dua spesies diploid dan dihasilkan tumbuhan amfihaploid. Selanjutnya terjadi penggandaan kromosom amfihaploid menjadi amfidiploid melalui mekanisme penggandaan jumlah kromosom. Di dalam dunia pertanian baik untuk tanaman hutan dan obat, banyak dilakukan atau diupayakan pembastaran (hibridisasi) oleh manusia untuk memperoleh benih tumbuhan yang berkualitas, dengan memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia. Bastar antar marga atau antar spesies di alam menimbulkan keturunan berikut yang bersifat steril atau paling tidak frekuensi sterilitasnya meningkat dari spesies kearah kategori di atasnya, dan fertilitas keturunannya meningkat dari kategori marga, spesies, dan infraspesifik. Dengan demikian evolusi tumbuhan paling efektif terjadi karena adanya bastar alamiah antar spesies dan di bawah spesies.

Penggandaan kromosom dalam spesies merupakan sebab utama isolasi reproduksi, karena setengah dari kromosom yang berganda akan tidak sepadan ketika terjadi perkawinan dengan organisme yang kromosomnya tidak berganda. Berdasarkan hasil penelitian Jones (2014), disebutkan bahwa spesies allopoliploid baru dapat terbentuk melalui proses aseksual. Dalam evolusi proses diferensiasi terbentuknya jenis-jenis spesies baru pada umumnya berkaitan dengan proses hibridisasi dan proses mutasi antara jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai kekerabatan dekat, serta proses seleksi alam dari populasi hibrid dan mutan. Mutasi ialah perubahan yang terjadi  dengan mendadak yang bersifat kebakaan yang diturunkan ke generasi berikutnya dan berbeda dengan bentuk, sifat, atau kualitas induknya (Stoltzfus A 2006). Mutasi dapat terjadi pada tingkat kromosom atau susunan gen, pada tingkat ploidi kromosom dapat dijelaskan dengan adanya peristiwa gagal berpisah kromosom sel kelamin (non disjunction) atas pengaruh pemberian bahan kimia mutagenik.

Mutasi gen dapat terjadi melalui enam macam keadaan, yaitu tautomer suatu bentuk stereoisomer dari molekul asam nukleat, struktur analog dalam tubuh terdapat sejumlah molekul yang mirip dengan asam nukleat, inhibitor sejumlah molekul tertentu yang dapat menempati ruang pada DNAyang seharusnya diisi oleh asam nukleat, radiasi radioaktif (Cohen 2011), dan radiasi ultraviolet (Loewe 2008). Perubahan tidak saja terjadi pada tingkat gen, tetapi juga pada tingkatan yang lebih besar, yaitu pada segmen kromosom. Nevo 2012, menjelaskan mutasi pada segmen kromosom berupa :

  1. Duplikasi, jumlah kromosom berlipat ganda
  2. Delesi, kehilangan satu atau beberapa gen
  3. Translokasi, ada sejumlah gen yang berpindah tempat pada kromosom lain. Perpindahan dapat terjadi secara resiprok maupun sepihak.
  4. Transposisi, posisi gen dalam kromosom berubah
  5. Inversi, terdapat sejumlah gen yang posisinya terbalik

Proses diferensasi yang berlangsung secara alamiah akan menghasilkan hibrid dan mutan sesuai dengan habitat dan amplitudo ekologi tertentu (Lowry 2012). Mutasi, rekombinasi genetik, serta seleksi alam adalah sebagai penggerak terjadinya evolusi (Smith 2011) dan oleh Judd et.al 2008 dikatakan sebagai sumber utama terjadinya variasi pada populasi tumbuhan maupun pada tingkat tingkat spesies. Lebih jauh dijelaskan bahwa, mutasi berkaitan dengan perubahan DNA mulai dari perubahan susunan basa tunggal (mutasi titik) hingga mekanisme insersi, duplikasi, delesi, dan inversi bagian dari kromosom. Dampak dari terjadinya mutasi ada tiga kemungkinan, yaitu dapat bersifat letal (jika produksi gen yang esensial terganggu), bersifat netral (apabila tidak ada pengaruh terhadap tumbuhan dalam proses mempertahankan kelangsungan hidupnya), atau memberikan keuntungan menghasilkan keanekaragaman spesies (ketika terbentuk susunan kromosom baru dari ekspresi gen yang terkoordinasi).

Ketiga hal tersebut akan mengubah struktur populasi. Seleksi alam akan menentukan apakah mutan dan rekombinan yang muncul akan berkembang atau lenyap. Pembentukan spesies baru berhubungan dengan terbentuknya penghalang reproduktif yang mencegah terjadinya hibrid fertil antara spesies baru dengan spesies leluhurnya. Mutasi merupakan peristiwa biologi yang di alam selalu terjadi pada setiap generasi dengan kecepatan atau tingkat tertentu. Dengan adanya mutasi akan terjadi perubahan satu alel menjadi alel yang lain, sehingga akan mengubah frekuensi alel dan struktur populasi (Pandit et al 2011).

         Kecepatan mutasi dinyatakan dengan laju mutasi, yaitu angka yang menunjukkan berapa jumlah gen yang bermutasi diantara seluruh gamet dari individu dalam spesies tertentu. Tingkat mutasi adalah sangat rendah, dengan demikiam kecepatan perubahan akibat mutasi juga terjadi sangat lambat. Laju mutasi yang menguntungkan lebih kecil dari angka laju mutasi yang merugikan (Buswell et al 2011).  Marriage et al (2009) melaporkan bahwa tingkat mutasi rata-rata per generasi pada Arabidopsis thaliana adalah sebesar 8.87 × 10-4  sementara pada Pinus strobus adalah sebesar 2,3 × 10-7 dan 6,9 × 10-8 untuk tingkat mutasi per pembelahan sel mitosis populasi baru dengan populasi asalnya, sehingga masing-masing populasi akan berkembang sendiri-sendiri. Sementara pada masing-masing populasi tersebut tetap berlangsung  proses mutasi maupun seleksi alam. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penyempitan ukuran populasi yang dikenal dengan efek leher botol (bottleneck effect). Spesiasi simpatri atau isolasi genetik adalah  proses spesiasi yang terjadi pada tempat yang sama dengan tempat leluhurnya berada. Hal penting yang mendorong terjadinya isolasi genetik adalah adanya penghalang reproduktif. Spesiasi simpatri terjadi karena adanya mutasi melalui perubahan struktur dan jumlah kromosom seperti inversi, translokasi, dan poliploidi.

          Poliploidi dan penyusunan ulang kromosom memainkan peran penting untuk menghasilkan spesies baru dan bahkan duplikasi gen segmental juga dapat menyebabkan pembentukan spesies baru. Spesiasi ini dihasilkan dari evolusi mekanisme yang mengurangi aliran genetika antara dua populasi. Secara umum, ini terjadi ketika terdapat perubahan drastis pada lingkungan habitat tetua spesies. Salah satu contohnya adalah rumput Anthoxanthum odoratum, yang dapat mengalami spesiasi parapatrik sebagai respon terhadap polusi logam terlokalisasi yang berasal dari pertambangan. Pada kasus ini, tanaman berevolusi menjadi resistan terhadap kadar logam yang tinggi dalam tanah (Antonovics 2006).

          Spesies baru merupakan produk akhir dari proses spesiasi, mendefinisikan tentang spesies sebagai organisme biologis sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh organisme hidup merupakan suatu bentuk dinamis yang sangat kompleks. Karena suatu bentuk dinamis-kompleks, sebetulnya tidak mungkin dibuat suatu batasan yang jelas. Suatu alternatif yang dapat menjawab permasalahan ini adalah dengan menggunakan penanda molekuler melalui penelitian biosistematik yang bertujuan untuk memata-matai proses evolusi dan mempelajari hubungan kekerabatan (Bhattacharyya 2009; Liebermen dan Wiley 2011). Dengan  pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka hubungan kekerabatan menduduki tempat yang penting dalam mendefinisikan suatu spesies. Kalau individu suatu spesies dapat saling melakukan perkawinan, maka dengan spesies lain tidak dapat terjadi perkawinan. Dengan demikian hubungan kekerabatan ditentukan oleh kedekatan genetika atau proses yang mengarah pada nenek moyang.

       Dengan konsep tersebut maka hubungan kekerabatan dapat diukur dengan membandingkan kesamaan genetik dari sejumlah spesies yang berkerabat. Pada tumbuh-tumbuhan, batas antar spesies seringkali tidak jelas, terutama pada famili Ericaceae. Kasus yang dapat kita gunakan pada tumbuhan, misalnya Ixora atau bunga soka. Menurut data Flora of Java, terdapat sejumlah spesies soka ada yang berbunga putih, kuning (Thailand), orange, merah muda, merah tua dan ditunjang dengan perbedaan dalam bentuk dan ukuran pohon, daun, karangan bunga, dan lain-lain. Semua dapat dengan mudah dikawinkan satu dengan lain dan hibrid yang dihasilkan umumnya fertile. Perangkat genetik sebagai hasil adaptasi pada kondisi lingkungan yang baru akan menyertai perubahan genotip atau proses mutasi dari jenis tersebut. Jenis-jenis atau populasi tumbuhan tersebut dinamakan tumbuhan ekotip (Lowry 2011). Ekotipe merupakan hasil respon genetik suatu populasi terhadap suatu habitat atau kondisi lingkungan tertentu. Sebagai contoh pada tumbuhan Lindenbergia polyantha dan L.urticafaela merupakan ekotipe dari spesies yang sama. Dua tumbuhan tersebut mempunyai ekotipe berbeda, karena memiliki toleransi yang berbeda terhadap zat kapur. Lindenbergia polyantha mempunyai toleransi terhadap kapur yang tinggi, sedangkan L.urticafaela mempunyai toleransi rendah. Turrill 2006, menyatakan bahwa ekotipe memiliki karakteristik antara lain :

  1. Bentuk asli tumbuhan ekotipe akan muncul jika tumbuhan ditanam pada habitat alaminya
  2. Ekotipe terbentuk secara genetik
  3. Jenis tumbuhan yang mempunyai amplitudo ekologi yang luas dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologi dan fisiologi ke dalam berbagai ekotipe atau habitat yang berbeda
  4. Ekotipe timbul pada habitat yang nyata dan spesifik

Berdasarkan kondisi habitat dan lingkungan dikenal ada 5 macam ekotipe, yaitu :

  1. Ekotipe klimatik, yaitu ekotipe yang disebabkan oleh pengaruh iklim, contohnya tumbuhan Leontodon autumnalis
  2. Ekotipe edafik, ekotipe yang dihasilkan oleh faktor lingkungan tanah seperti Euphorbia thymifolia
  3. Ekotipe klimatik-edafik, ekotipe yang disebabkan faktor iklim dan tanah, contohnya Cenchrus ciliaris
  4. Ekotipe altitude dan latitude, yaitu ekotipe yang dihasilkan dari faktor ketinggian dan garis lintang, pada tumbuhan Casia tora dan Pinus sp.
  5. Ekotipe fisiologis, yaitu ekotipe yang dihasilkan oleh adanya perubahan faktor-faktor fisiologi seperti penyerapan air, nutrien, dan fotoperiodisitas seperti Boutelona curtipendula yang mempunyai dua ekotipe untuk fotoperiodisitas hari panjang dan hari pendek.

 

  1. Campur tangan manusia ( pemuliaan )

Teknologi transgenik telah menjadi alat yang sangat penting untuk program pemuliaan tanaman. Rekayasa genetik yaitu upaya introduksi dan penyisipan gen ke dalam genom inti secara stabil kemudian diekspresikan di dalam tanaman transgenik. Rendahnya cross fertile didukung sterilitas baik pada bunga jantan dan betina pada kultivar hasil perbanyakan vegetatif, menjadikan isu gene flow bukan sesuatu yang meresahkan, sehingga pendekatan secara trangenik ini menjadi lebih atraktif (Tripathi 2011).

Keberhasilan transformasi genetik pada tanaman menyaratkan dihasilkannya tanaman yang normal, fertile dan mampu mngekspresikan sifat gen yang disisipkannya. Proses transformasi genetik terdiri dari beberapa tahap : identifikasi gen yang unggul/diharapkan, kloning gen pada vektor plasmid yang sesuai, dan mengirimkannya pada sel tanaman diikuti ekspresi dan pewarisan DNA yang membawa sifat unggul tersebut. Meskipun banyak kendala pada prosedur transformasi tanaman monokotil, namun protokol transformasi pada pisang sudah tersedia. Misalnya kultivar Bluggoe menggunakan metode microprojectile bombardment, dan Lady finger menggunakan Agrobacterium. Pada umumnya karakter harapan yang disisipkan yaitu ketahanan terhadap penyakit (Fusarium wilt, Xanthomonas wilt), dan hama (nematoda) (Tripathi 2011).

Selain introduksi karakter resistensi terhadap penyakit dan hama, saat ini topik riset lain yang juga sedang giat diteliti yaitu upaya peningkatan kandungan nutrisi pada buah pisang. Upaya peningkatan kandungan nutrisi pada tanaman budidaya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penurunan masalah kekurangan gizi di Negara-negara berkembang (Bouis et al. 2002). Biofortifikasi yaitu upaya peningkatan kandungan nutrisi pada tanaman, dapat berkembang lebih maju  melalui penerapan kombinasi bioteknologi. Analilis genom dan pemetaan pautan genetik diperlukan untuk mengidentifikasi gen-gen yang bertanggung jawab terhadap variasi kandungan nutrisi pada tanaman. Gen-gen tersebut selanjutnya ditransfer ke kultivar umum melalui pemuliaan konvensional dan seleksi berdasarkan marker molekular, atau jika variasi secara alami tidak tersedia dalam satu spesies maka rekayasa genetik perlu diterapkan (Tripathi, 2011).

Defisiensi vitamin dan mineral merupakan penyebab utama kematian dan masasalah kesehatan anak-anak setiap tahunnya di Negara berkembang, tapi hal ini dapat dengan mudah dicegah melalui penambahan sedikit nutrisi kunci terhadap makanan pokok, termasuk pisang. Saat ini para ilmuwan dari QUT dan NARO sedang mengembangkan pisang biofortifikasi menggunakan gen untuk sintesis provitamin A atau zat besi, di bawah kontrol promotor konstitutif spesifik untuk buah (Dale & Tushemeirewe 2008). Selain mutasi baik secara spontan maupun artifisial, transformasi genetik pun turut berkontribusi dalam meningkatkan keanekaragaman plasma nutfah tanaman pisang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kebijakan untuk mempertahankan Keanegaraman hayati

buah buahan indonesia

 

Menjaga biodiversitas merupakan upaya konservasi yang sempurna, menjaga ekosistem tetap sehat, dan modal utama untuk dapat memberikan keuntungan kepada manusia sebesar-besarnya. Suatu ligkungan yang sehat akan memiliki nilai ekonomi dan keindahan yang tinggi. Memelihara lingkungan yang sehat berarti memelihara semua komponen, yaitu ekosistem, komunitas, populasi, spesies, dan variasi genetik tetap dalam keadaan baik. Semua komponen tersebut memiliki kerentanan mengalami kerusakan. Suatu komunitas biologi berpotensi menghadapi suatu ancaman berupa gangguan, pengurangan nilai ekonomi, hingga kepunahan total. Akan tetapi selama spesies asli masih ada, maka komunitas tersebut masih berkesempatan untuk bisa pulih kembali termasuk juga dengan variasi genetiknya (Indrawan et, al 2007).

Variasi genetik suatu populasi bisa berkurang apabila jumlah individu dalam populasi   berkurang, namun spesies tersebut dapat mengembalikan variasi genetiknya melalui mekanisme mutasi dan rekombinasi. Ironinya, ketika suatu spesies mengalami kepunahan, informasi genetik yang spesifik yang terdapat pada materi DNA akan hilang selamanya. Kondisi ini menyebabkan komunitas tempat hidupnya akan kekurangan komponen penyusun dan tentunya nilai potensi yang dimiliki spesies yang dapat dimanfaatkan oleh manusia tidak akan terwujud. Akibat ulah manusia tela mengubah, mendegradasi, dan merusak bentang alam dalam skala luas. Kerusakan habitat mendorong spesies dan bahkan seluruh komunitas menuju ambang kepunahan

Kepunahan masal yang terjadi saat ini berbeda dengan kepnahan massal pada masa-masa geologi yang lalu, puluhan hingga ratusan juta tahun yang lampau. Pada era modern ini kepunahan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh manusia, biodiversitas mengalami ancaman berupa :

  1. Pertumbuhan penduduk

Pertumbuhan penduduk yang diiringi dengan pola konsumsi manusia dapat mempercepat hilangnya spesies dan ekosistem. Saat penduduk dunia melampui 6 milyar jiwa, setengah luas hutan dunia telah diubah dan dirusak; sumberdaya air tawar dan laut-pun dieskploitasi sehingga banyak spesies yang hilang serta banyak ekosistem rusak.

  1. Dampak kegiatan manusia, berupa pemanfaatan berlebih, degradasi/fragmentasi/ kerusakan/hilangnya habitat, introduksi dari species pendatang, pencemaran, pemanasan global, perubahan iklim global, dan sinergi dari faktor-faktor tersebut (Indrawan 2007, Smith 2011, Maron 2011, Northfield 2013).

Pelestarian atau konservasi sumber daya alam secara luas berarti pemanfaatan dan pengelolaan, serta pengawetan secara lestari sumber daya alam terutama sumber daya alam hayati.  Sumber daya alam hayati merupakan salah satu faktor yang terpenting, karena biodiversitas memiliki sifat-sifat :

  1. Merupakan bagian dari mata rantai tatanan lingkungan hidup
  2. Memiliki kemampuan merangkai satu komponen dengan komponen tatanan lingkungan lainnya
  3. Dapat menunjang tatanan lingkungan tersebut sebagai sumber kehidupan makhluk hidup lainnya.

Pada ekosistem yang memiliki keragaman makhluk hidup sedikit, keseimbangan ekosistem cenderung sangat peka dan mudah terganggu. Semakin beranekaragam keanekaragama tumbuhan suatu komunitas vegetasi, maka semakin stabil komunitas vegetasi tersebut.  Untuk mencegah meningkatnya kepunahan biota dan keseimbangan ekosistem dan pelestarian sumber daya alam, maka di dunia modern dengan segala kecanggihan teknologi ini tiada pilihan lain daripada mempertahankan keanekaragaman hayati dan variasi genetika yang besar, yang harus dimanfaatkan secara hemat dan berkesinambungan secara lestari. Hal ini perlu dilakukan dengan upaya dan langkah-langkah yang tepat untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dengan cara :

  1. memelihara dan mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan lainnya
  2. mempertahankan kanekaragaman makhluk hidup, menurut keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem (Kahilainen et.al. 2014)

Untuk berlanjutnya kehidupan manusia, hal tersebut perlu dilakukan karena pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri telah mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat yang tidak seimbang. Masyarakat modern dengan kehidupannya yang komplek dan tidak seimbang antara pemanfaatan sumber daya ala dengan pelestariannya, telah menyebabkan menurunnya keanekaragaman sumber daya alam, untuk itu pengetahuan lingkungan dan kearifan masyarakat sangat penting dalam pembinaan yang bertujuan meningkatkan kesadaran tentang keaneragaman hayati tanpa mengurangi kegiatan dan produktivitas masyarakat dalam meningkatkan kehidupannya.

Terdapat beberapa langkah kebijaksanaan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dalam proses pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah tersebut meliputi :

  1. pengakuan terhadap hak milik atas kekayaan dan sumber penghidupan masyarakat.
  2. pengaktifan kembali pranata dan kelembagaan sosial yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
  3. penghormatan terhadap pengetahuan masyarakat dan kearifan lingkungan yang selama ini menjadi dasar dan pedoman dalam beradaptasi terhadap lingkungannya.

Ancaman terhadap keanekaragaman hayati hampir pasti juga akan mengancam poulasi manusia karena manusia bergantung pada lingkungan alami untuk bahan baku, makanan, obat-obatan, bahkan untuk air minum. Alam menyimpan berjuta misteri untuk dipelajari dan dianalisis, yang ujung-ujungnya  tentu untuk kesejahtaraan umat manusia di muka bumi ini. Keanekaragaman hayati di bumi pertiwi kita yang jumlahnya berlimpah dan hingga saat ini masih banyak yang belum dipelajari apalagi dimanfaatkan. Sementara proses alamiah di alam terus berlangsung, yang berdampak kepada meningkatnya keanekaragaman atau bahkan kepunahan. Perlu sikap kritis, terbuka, dengan memanfaatkan kemampuan daya nalar untuk melakukan analisis dan sintesis terhadap potensi keanekaragaman tersebut.  Diharapkan keanekaragaman yang kita miliki sempat kita pelajari untuk kesejahteraan umat manusia

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Abbott, R. 2013. Hybridization and speciation. Journal of Evolutionary Biology, 26: 229–246. http://onlinelibrary.wiley.com/Diakses tanggal 24 September 2014

 

Alters, S., Alters, B. 2006. Biology, Understanding Life. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken.

 

Antonovics J 2006. Evolution in closely adjacent plant populations X: long-term persistence ofprereproductive isolation at a mine boundary.Heredity (Edinb). 97(1):33-7. Diakses : 24 Oktober 2014

 

Bhattacharyya B. 2009. Systematic Botany . Second Edition. Alpha Science International Ltd.Harrow, U.K

 

Buswell JM, Moles AT, Hartley S. 2011. Is rapid evolution common in introduced plant Species? Journal of Ecology. http://onlinelibrary.wiley.com/ Diakses : 15 Oktober 2014 Cohen. 2011. Radiation Causes Plant & Animal Mutations.          http:/jonbarron.org/article/. Diakses tanggal 24 September 2014

 

Cronk QCB., Whitton J., Ree RH., and Taylor IEP. 2004. Plant Adaptation: Molecular Genetics and Ecology. http://www.bookfi. Diakses : 29 September 2014

 

Cronk  QCB.2004. The new science of adaptation: an introduction. Proceedings of an International  Workshop Vancouver, British Columbia, Canada. Diakses 24 September 2014

 

Elen Oneal, L. Lacey Knowles. 2013. Ecological selection as the cause and sexual differentiation as the consequence of species divergence? Proc Biol Sci.         (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles). Diakses : 23 September 2014

 

Eliwa da Kamel, 2013. Olive plants (Olea europaea L.) as a bioindicator for pollution. http://images.library.wisc.edu/EcoNatRes. Diakses : 16 Oktober 2014

 

Franz J. W, Edelaar P, Sander van Doorn P. 2011. Adaptive speciation theory: a conceptual review. Behav Ecol Sociobiol (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed). Diakses : 23 September 2014

 

Gaston KJ. dan Spicer JI.  2004. Biodiversity: An Introduction Second Edition.USA :  Blackwell Science Ltd.

 

Indrawan M., Primack R.B., Supriatna J., 2007. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia

 

Iskandar, D.T, 2007. Evolusi. Buku Materi Pokok BIOL4317. Penerbit Universitas Terbuka

 

Judd,WS et al 2008. Plant Systematics : A Phylogenetic Approach Third Edition.

Sunderland,Massachusetts USA : Sinauer Associates,nc. Publishers.

 

Jones,B. 2014. Joining forces asexual genome merger creates new  allopolyploid

species. Nat Rev Genet. Diakses : 17 Oktober 2014

 

Kahilainen et.al. 2014. Conservation implications of species–genetic diversity correlations..

 

Lieberman, B. S., & Wiley, E. O. 2011. Phylogenetics : Theory and Practice of Phylogenetics Systematics. Hoboken, N.J.: Wiley-Blackwell. http://search.ebscohost.com. Diakses : 18 September 2014

 

Lobo, I. & Shaw, K. 2008. Phenotypic range of gene expression: Environmental          influence. Nature Education 1(1):12 http://www.nature.com. Diakses 25 September 2014

 

Lowry DB. 2012. Ecotypes and the controversy over stages in the formation of new species. Section of  Biological Journal of the Linnean Society . http://onlinelibrary.wiley.com. Diakses : 18 September 2014

 

Loewe, L. (2008) Genetic mutation. Nature Education 1(1):113. http://www.nature.com/ Diakses : 7 Nopember 2014

 

Nei M dan Nozawa M, 2011. Roles of Mutation and Selection in Speciation: From Hugo de Vries to the Modern Genomic Era. Genome Biology and Evolution,  3  (1) , pp. 812-829.  Diakses : 24 Oktober 2014

 

Nevo, E. 2012.  Speciation: Chromosomal Mechanisms. University of Haifa, Haifa, Israel. http://www.els.net/WileyCDA/ Diakses : 6 Nopember 2014

 

Northfield TD, Ives AR. 2013. Coevolution and the Effects of Climate Change on Interacting Species. PLoS Biol 11(10)/journal.pbio. http://www.ploscollections.org/article/Diakses tanggal 24 September 2014

Oneal, EL. Knowles L .2013. Ecological selection as the cause and sexual differentiation as the consequence of species divergence? Proc Biol Sci.          (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3574439/).  Diakses : 29 September 2014 Othman et al, 2014. Aquatic plants as phytoindicator for heavy metals contaminant in polluted freshwater bodies,  International Conference On Global Trends in Academic Research (GTAR-2014), 1st-3rd June 2014, Bali, Indonesia. Diakses : 18 Oktober 2014

 

Pandit MK,  Pocock MJO, Kunin WE. 2011. Ploidy influences rarity and invasiveness in plants.Journal of Ecology 2011, 99, 1108–1115. Diakses : 16 Oktober 2014

 

Papadopulos A.S.T, et al. 2013. A comparative analysis of the mechanisms underlying speciation on Lord Howe Island. http://onlinelibrary.wiley.com. Diakses : 6 Nopember 2014

 

Rodel  LD. 2010. Issues on climate change and biodiversity in South East Asia, SEARCA http://www.portal.igpublish.com. Diakses : 18 September 2014

 

Seymour G. 2008. Where we stand: A surprising look at the real state of our planet. American Management Association. http://www.portal.igpublish.com. Diakses : 26 September 2014

 

Sajise, P.E, Ticsay M.V., Saguiguit, Gil C. Jr.2013. Moving forward Southeast Asian Perspective and Climate Change and Biodiversity . http://portal.igpublish.com. Diakses : 23 September  2014

 

Sukhla RS. dan P.S Chandel. 1996. Plant Ecology. New Delhi. S.Chand and Co.Ltd

 

Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

 

Smith MD. 2011. An ecological perspective on extreme climatic events: a synthetic definition and framework to guide future.  Journal of Ecology. Diakses : 20 Oktober 2014

 

Stoltzfus A, 2006. Mutationism and the dual causation of evolutionary change. Evol. Dev. 8 (3):304–17. Journal of Ecology. http://onlinelibrary.wiley.com/Diakses : 24 Okober 2014

 

Triyono K, 2008. Keanekaragaman Hayati dalam Menunjang Ketahaan Pangan, Fak Pertanian Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 11, No. 1, Mei 2013. Univ. Slamet Riyadi Surakarta

 

Turrill, W.B. 2006. The Ecotype Concept a Consideration with Appreciation and Critism  Especially of Recent Trends. New Phitologist Vol.45. http://onlinelibrary.wiley.com/. Diakses 7 Nopember 2014