Family Myrtaceae

MYRTACEAE

Pendahuluan

Spesiasi adalah suatu proses pembentukan jenis baru. Spesiasi terjadi bila aliran gen antara populasi yang pada mulanya ada secara efektif telah mereda dan disebabkan oleh mekanisme isolasi (Hale et al. , 1995). Jenis baru dapat terbentuk dalam kurun waktu sejarah yang panjang maupun pendek tergantung model spesiasi mana yang dilaluinya. Spesiasi merupakan respon makhluk hidup termasuk Myrtaceae terhadap kondisi lingkungannya berupa adaptasi sehingga kelompok ini dapat bertahan hidup dan tidak punah. Begitu populasi berubah, terbentuklah jenis baru tetapi masih sekerabat. Kapan dua populasi merupakan jenis berbeda yang baru? Jika populasi tersebut sudah tidak lagi dapat saling kawin, dianggap sebagai dua jenis yang terpisah (konsep jenis biologis). Seperti halnya seleksi alam, populasi yang beradaptasi terhadap lingkungan yang berbeda akan berubah menjadi ras, subspecies, dan akhirnya menjadi species terpisah yang baru (Farabee, 2001).   Dalam hal ini beberapa anggota Myrtaceae yang telah terpisah oleh lautan akibat pergeseran lempeng benua, masing-masing menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam waktu yang sangat lama dan jarak yang makin jauh, sehingga bila dipertemukan kembali mungkin tidak dapat saling menyerbuki. Spesiasi sangat terkait dengan evolusi, keduanya merupakan proses perubahan yang berangsur-angsur sedikit demi sedikit, secara gradual, perlahan tetapi pasti terjadi. Spesiasi lebih ditekankan pada perubahan yang terjadi pada populasi jenis tertentu. Sedangkan evolusi jauh lebih luas, dapat meliputi semua organisme hidup maupun benda mati yang membentuk seluruh alam semesta ini. Kebanyakan evolusi diartikan secara sempit sebagai perubahan yang terjadi pada mahluk hidup, tetapi secara luas dapat meliputi perubahan apapun di jagat raya ini.

Kecepatan Spesiasi

Kecepatan spesiasi maupun kepunahan sebagian tergantung pada ukuran kisaran geografis jenis tersebut. Daerah yang luas cenderung meningkatkan kecepatan spesiasi dan menurunkan kecepatan kepunahan. Jenis yang terdapat di daerah yang luas akan mengalami spesiasi lebih cepat, sedangkan menurunnya luas area akan meningkatkan kepunahan suatu jenis, jadi menurunkan jumlah jenis yang akan mengalami spesiasi. Bukti terkini dan fosil menunjukkan bahwa kehilangan x% luas daerah, akan mengakibatkan kehilangan x% jenis (Rosenzweig, 2001). Suatu daerah di Indonesia yang relatif luas seperti pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua, secara logika lebih mudah mengalami proses spesiasi sehingga dihasilkan populasi yang makin banyak. Bila ditinjau dari menurunnya luas hutan yang terjadi setiap tahunnya akibat kebakaran, konversi lahan, dan penebangan liar, maka jelas kehilangan jenis juga lebih kurang sama dengan luas hutan yang hilang. Proses spesiasi juga akan mengalami penurunan yang sangat drastis, bahkan kepunahan pun tak dapat dihindari. Kecepatan spesiasi dapat pula ditinjau dari segi lamanya waktu yang diperlukan untuk membentuk jenis, varietas, atau klon baru. Spesiasi melalui hibridisasi jauh lebih cepat daripada spesiasi geografis dan ekologis, karena hibridisasi dengan bantuan manusia pada berbagai jenis anggota Myrtaceae dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menghasilkan keturunan berupa hibrida yang segera dapat diamati. Sebaliknya spesiasi alamiah dapat memakan waktu yang sangat lama dan hasilnya kadang-kadang sulit dideteksi. Jadi berdasarkan kecepatannya, ada dua model spesiasi yaitu spesiasi cepat dan spesiasi lambat.

 

Bukti Spesiasi

Pembuktian adanya proses spesiasi dalam Suku Myrtaceae tidaklah mudah karena anggotanya cukup banyak, terdiri dari 140 marga dan beberapa ribu jenis tumbuhan (Kenneth et al., 2000). Di samping itu proses ini dapat memakan waktu yang sangat panjang sampai ratusan bahkan ribuan tahun. Dari sini timbul pertanyaan apakah spesiasi yang demikian lambat juga dapat dibuktikan terjadi pada anggota Myrtaceae? Sementara bukti berupa fosil sangat terbatas. Salah satu cara membuktikan adanya proses spesiasi adalah dengan analisis filogeni yaitu suatu analisis tentang sejarah evolusioner dari suatu jenis atau takson lainnya. Penggunaan pengurutan DNA, cpDNA, ITS, gen kloroplas ndhF, dan allozyme, dapat membuktikan terjadinya spesiasi pada berbagai jenis anggota Myrtaceae ini. Penelitian semacam ini telah banyak dilakukan di Australia karena benua ini merupakan salah satu pusat persebaran Myrtaceae di dunia (Biffin, 2005).

Dari beberapa kajian dan penelitian tentang Myrtaceae di Australia dan beberapa Negara lain ternyata menunjukkan bahwa fenomena spesiasi ini memang terjadi. Beberapa contoh spesiasi telah diketahui dan dibuktikan dengan berbagai cara baik penelitian secara morfologis, anatomis, maupun pada tingkat molekuler. Pengetahuan tentang spesiasi pada Myrtaceae ini penting agar kita dapat memprediksi masa depan dari golongan tumbuhan ini, apakah dapat bertahan atau punah. Jika kepunahan lebih dominan, maka kita harus segera melakukan konservasi. Saat ini masih sedikit laporan tentang spesiasi pada Myrtaceae di Indonesia, kebanyakan laporan berasal dari Australia.

Contoh fenomena spesiasi adalah yang terjadi di Australia dan New Zealand. Telah terbukti bahwa penggunaan teknik filogenetik menggunakan marker DNA dapat membantu memecahkan masalah genera di New Zealand, tetapi setelah dibandingkan dengan penggunaan teknik taksonomi tradisional, masih sering terjadi kekurangan variasi untuk memecahkan kompleks spesies tersebut. Penelitian ini menunjukkan dukungan yang kuat bagi pendapat bahwa seksi Salisia (Kunzea baxteri K. pulchella) dan Leptospermoides (terdiri dari kompleks K. ericoides), berbeda dengan seksi Kunzea (K. capitata dan jenis lain dari Australia Timur). Selain itu jelas bahwa jenis dari Australia dan New Zealand dari kompleks K. ericoides walaupun berkerabat dekat, tetapi masing-masing berbeda.

Namun demikian penelitian dengan pengurutan ITS tidak membantu memecahkan masalah perbedaan morfologis antara jenis pada kompleks Kunzea. Hal ini bukan tidak umum dalam flora of New Zealand merupakan dukungan lebih lanjut bagi pendapat bahwa spesiasi pada sebagian besar flora di New Zealand telah terjadi (Lange et al. 2002). Bukti spesiasi lain adalah hasil penelitian tentang cpDNA di Tasmania dan Australia daratan. Klororoplas DNA dari Monocalyptus lebih bervariasi daripada di Tasmania yang secara filogenetik berhubungan dengan cpDNA di Victoria Tengah dan Barat. Empat di antara enam jenis di Tasmania polimorfik. Variasi tingkat cpDNA  yang rendah dan interdegradasi morfologis yang luas di antara endemik di Tasmania menunjukkan spesiasi. Namun demikian, transfer cpDNA melalui hibridisasi adalah penjelasan yang paling memadai bagi sharing cpDNA  dalam series tersebut (McKinnon et al. , 1999).

Hasil analisis filogenetik pada Myrtaceae menggunakan gen kloroplast ndhF yang berevolusi dengan cepat menunjukkan bahwa Myrtoideae sebagian besar monofiletik dan maju. Porsi kerabat Metrosideros biasanya mendasar dalam Myrtaceae. Derivasi dari buah berdaging telah terjadi lebih dari satu kali. Demikian juga, evolusi dari mahkota bunga yang mencolok dan mekarnya “sikat botol” menandai konvergensi atau paralelisme, suatu bentuk evolusi yang menghasilkan organisme berbeda, secara independen menurunkan persamaan bentuk (Kenneth et al. , 2000). Hasil penelitian marga Eremaea anggota Myrtaceae berupa semak berkayu di Australia dengan menggunakan variasi allozyme pada 15 lokus polimorfik menunjukkan bahwa sebagian besar variabilitas genetik dalam Eremaea sp. disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam populasi daripada antar populasi (Coates dan Hnatiuk, 2005). Data allozyme mendukung studi morfologis yang mengindikasikan lima kelompok jenis atau kompleks. Dari 159 pasangan kombinasi yang mungkin di antara 19 taksa dengan perbedaan morfologis, 15 di antaranya menunjukkan sedikit divergensi allozyme.

Tidak adanya perbedaan allozyme berhubungan dengan spesiasi yang cepat atau berhubungan dengan hibridisasi introgresif atau penyebaran gen dari suatu jenis ke dalam jenis lain akibat hibridisasi. Berdasarkan data allozyme, brevifolia x violacea dapat berasal dari hibrida asli atau berupa hibrida turunan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hibridisasi interspesifik terjadi pada Eremaea. Spesiasi kini yang cepat, dikombinasikan dengan hibridisasi telah menghasilkan pola evolusi reticulate (tersusun dalam bentuk jaringan). Analisis filogenetik berdasarkan pada data allozyme umumnya konsisten dengan analisis yang didasarkan pada data morfologis kecuali pada penempatan E. purpurea dan E . Aff. Pauciflora (Coates dan Hnatiuk, 2005).

 

Model Spesiasi

Ada banyak model spesiasi yang merefleksikan kekuatan besar dalam proses spesiasi di alam seperti spesiasi geografis, spesiasi poliploidi, spesiasi kromosomal, spesiasi ekologis, dan spesiasi aseksual. Tetapi hanya beberapa model saja yang mungkin terjadi pada Myrtaceae. Fenomena spesiasi yang paling mudah terjadi dengan kecepatan relatif tinggi pada anggota Myrtaceae adalah pembentukan hibrida baru oleh manusia dengan hibridisasi. Proses hibridisasi ini termasuk dalam model spesiasi poliploidi maupun kromosomal. Sedangkan spesiasi model lainnya juga terjadi tetapi dengan kecepatan yang relatif lambat dan baru dapat dibuktikan dengan penanda molekuler. Banyak anggota Myrtaceae yang telah mengalami perubahan akibat persilangan baik secara alami maupun akibat perilaku manusia. Salah satu contoh hasil persilangan adalah hibrida Eucalyptus grandis x E. globulus. Tanaman ini memiliki sifat sifat kombinasi antara pertumbuhan yang cepat dan kualitas kayu yang baik. Sifat-sifat ini hanya dimiliki oleh anakannya.

Penelitian terakhir oleh Kirst et al., (2004) menunjukkan bahwa kini sedang dilakukan persilangan balik (back cross) antara (E. grandis x E. globulus) x E. grandis, sifat-sifat kayu yang dihasilkan masih belum dilaporkan. Model spesiasi hibridisasi juga yang banyak terjadi pada Syzygium. Salah satu hal penting dalam evolusi tumbuhan adalah peran hibridisasi dalam spesiasi. Linnaeus dan Kerner adalah ilmuwan pertama yang menyatakan bahwa hibridisasi dapat menjadi suatu mekanisme bagi spesiasi tumbuhan. Tetapi mereka mengabaikan dua masalah penting dengan hipotesisnya yaitu: segregasi dan sterilitas. Masalah ini telah dicoba diatasi dengan mempelajari diskusi awal tentang spesiasi hibrida. Hipotesis Winge tentang alloploidi (1917) adalah kontribusi besar pertama untuk memecahkan masalah ini. Dia menyatakan bahwa suatu jenis hibrida fertil dan konstan dapat diturunkan dengan menggandakan jumlah kromosom. Pada tahun 1930 Muntzing mengembangkan suatu model yang memungkinkan spesiasi rekombinasional tanpa poliploidi.

Berdasarkan gagasan Winged dan Muntzing, dua model spesiasi hibrida alloploidi dan spesiasi rekombinasional, telah diterangkan dan dikonfirmasikan dengan studi yang mendalam (Sim, 2002). Bukti lain dari fenomena spesiasi akibat ulah tangan manusia adalah terciptanya jambu citra dari jambu air (Syzygium aqueum “citra”) oleh Tirtawinata, yang dilepas dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian sebagai kultivar unggul pada tanggal 1 Desember 1997, sekarang dikembangkan besar-besaran oleh pekebun di Thailand dan Taiwan. Sebelumnya, Taiwan sudah memiliki dua kultivar jambu air andalan ekspor, yakni mutiara hitam dan intan hitam. Jambu air ini juga dulu berasal dari Semarang (Kompas, 2003). Jadi spesiasi pada tanaman budidaya akibat intervensi manusia menghasilkan populasi kultivar baru yang dapat dibuktikan dengan cepat dan sangat nyata. Spesiasi akibat isolasi geografis pada Myrtaceae lebih jarang terjadi karena masih sedikit penelitian yang membuktikan hal ini. Bukti yang paling mungkin bagi model ini adalah bila pengamatan dilakukan di tepi barat Benua Afrika dan tepi timur Benua Amerika Selatan. Karena kedua benua ini sampai sekarang menunjukkan adanya gerakan saling menjauh. Tetapi dengan sedikitnya penelitian tentang Myrtaceae di Afrika dan Amerika Selatan tersebut, data masih sangat sedikit.

Tambahan lagi, Myrtaceae ini tersebar luas terutama di daerah tropis dan bagian temperata Australia, sedikit di Afrika, dan Laurasia temperata. Hal ini jelas kurang mendukung bukti adanya spesia si geografis (Kenneth et al, 2000). Spesiasi ekologis terjadi karena pengaruh lingkungan berupa tumbuhan yang muncul hanya dalam lingkungan yang beberapa ratus atau beberapa ribu tahun sebelumnya tidak ada (Isaak, 2005). Contoh yang jelas adalah apa yang terjadi di New Caledonia, tempat beberapa pionir beradaptasi dan hidup berkoloni di suatu daerah ultrabasik, keturunan dari tumbuhan ini meliputi juga Callistemon dan Uromyrtus . Selanjutnya selama proses deposisi dan perubahan iklim sehingga tanah menjadi miskin dan asam akhirnya terbentuk tanah seperti sekarang ini. Selama kurun waktu ini tanah didominasi oleh Gymnospermae, Myrtaceae, Sapotaceae, dan Proteaceae (Mobot, 1995). Kemungkinan besar lebih banyak lagi model spesiasi yang telah terjadi pada Myrtaceae seperti variasi molekuler dalam populasi, tetapi banyak di antaranya masih tersembunyi karena perubahan karakter yang terjadi bersifat resesif.

Bila persilangan dengan populasi lain terus berlangsung dengan bebas, bukan tidak mungkin suatu saat sifat resesif ini akan nampak pada fenotipnya, yang pada akhirnya akan muncul jenis baru dengan sifat resesif ini. Ada anggota Myrtaceae yang terbukti mengalami aktivitas evolusi yaitu anak suku Leptospermoideae (Myrtaceae dengan buah keras). Golongan ini memiliki jumlah jenis terbanyak, ada sekitar 70 genera di Australasia, Oceania dan Asia Timur Australia, Thailand, Burma, dan Hawaii). Di Amerika Selatan (Chile) ada 1 jenis. Banyak anggota anak suku ini keluar dari hutan hujan, beberapa di antaranya banyak ditemukan di sepanjang daerah aliran sungai. Beberapa jenis telah berevolusi dan beradaptasi pada tanah kering. Selanjutnya disimpulkan bahwa Myrtaceae merupakan suku tumbuhan yang sangat tua dan telah mengalami diversifikasi sangat nyata. Indikasi adanya sejarah evolusinya dapat dilihat dari fakta bahwa fosil serbuksari telah ditemukan di Antartica. Myrtaceae telah berevolusi dari bentuk-bentuk yang lebih primitif di tempat lembab, hutan hujan, menjadi bentuk-bentuk terspesialisasi untuk daerah sangat kering, dan semi kering (Wilson, 1999).

Spesiasi yang terjadi pada jambu-jambuan (Myrtaceae) dapat dibuktikan. Berdasarkan berbagai data yang terkumpul dapat disimpulkan bahwa kebanyakan spesiasi pada jambu-jambuan terjadi dengan cara hibridisasi. Walaupun spesiasi model lain banyak terjadi sejak dahulu sampai sekarang, namun kejadiannya lebih sulit diamati karena memakan waktu yang sangat lama dan perubahannya tidak mencolok. Sebaliknya hibridisasi dapat diamati dengan cepat dan muda h dengan hasil yang nyata, bahkan hasil yang ingin dicapai kadang-kadang dapat diatur oleh manusia. Terjadinya evolusi pada Myrtaceae pun dapat dibuktikan dengan ditemukannya serbuk sari fosil di Antartica. Jadi hampir semua model spesiasi pada Myrtaceae terbukti ada. Secara garis besar model spesiasi yang bermacam-macam tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu spesiasi cepat yang meliputi hibridisasi dan spesiasi lambat yang terdiri dari spesiasi geografis, dan spesiasi ekologis.

 

Habitus Myrtaceae

Berupa pohon atau perdu, daun tunggal, bersilang berhadapan, pada cabang-cabang mendatar seakan-akan tersusun dalam 2 baris pada 1 bidang, kebanyakan tanpa daun penumpu. Bunga kebanyakan banci, karena adanya aborsi kadang-kadang poligam, aktinomorf. Kelopak dan mahkota masing-masing terdiri atas 4 → 5 daun kelopak dan sejumlah daun mahkota yang sama yang kadang-kadang berlekatan atau tidak terdapat. Benang sari banyak, kadang-kadang berkelompok berhadapan dengan daun-daun mahkota, mempunyai tangkai sari dengan warna cerah, yang kadang-kadang menjadi bagian bunga yang paling menarik. Bakal buah tenggelam, mempunyai satu tangkai putik, beruang satu sampai banyak dengan 1 → 8 bakal biji dalam tiap ruang. Buah bermacam-macam, pada ujungnya masih jelas tampak kelopak yang tidak gugur, sisa tangkai putik dan sisa-sisa benang sari yang tertinggal di dalam kelopak. Biji dengan sedikit atau tanpa endosperm, lembaga lurus, bengkok atau melingkar, ada pula yang terpuntir seperti spiral.

Suku ini tergolong suku yang besar, meliputi hampir 3.000 jenis yang terbagi dalam ± 80 marga, sebagian besar merupakan penghuni daerah tropika dan benua Australia. Banyak anggota-anggotanya yang merupakan penghasil minyak atsiri yang berkhasiat obat, banyak pula yang merupakan pohon buah-buahan (Tjitrosoepomo, 1988; Tjitrosoepomo, 1994)

Klasifikasi (Depkes, 2001) ;

Divisi               : Spermatophyta

Sub divisi        : Angiospermae

Kelas               : Dicotyledonae

Ordo                : Myrtales

Famili              : Myrtaceae

 

Keanekaragaman Famili Myrtaceae :

  1. Eugenia cumini (duwet atau jamblang), selain buahnya dapat dimakan, biji dan kulit batangnya berguna dalam obat-obatan (semen dan cortex syzygii).
  2. polycephala (gowok)
  3. jambos (jambu klampok)
  4. aquea (jambu air)
  5. Psidium guajava (jambu biji)

 

Duwet atau Jamblang (Eugenia cumini (L.) Druce)

Sinonim  : Syzygium jambolana Miq.; S. cumini (Linn.) Skeels; Eugenia jambolana Lamk.

Familia    : Myrtaceae

Habitus            : Pohon jamblang tergolong tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Asia dan Australia Tropis. Biasa ditanam di pekarangan atau tumbuh liar, terutama di hutan jati. Jamblang tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 500 mdpl. Pohon dengan tinggi 10-20 m ini berbatang tebal, tumbuhnya bengkok dan bercabang banyak. Daun tunggal, tebal, tangkai daun 1-3,5 cm. Helaian daun lebar bulat memanjang atau bulat telur terbalik, pangkal lebar berbentuk baji, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan atas mengkilap, panjang 7-16 cm, lebar 5-9 cm, warnanya hijau. Bunga majemuk bentuk malai dengan cabang yang berjauhan, bunga duduk, tumbuh di ketiak daun dan di ujung percabangan, kelopak bentuk lonceng berwarna hijau muda, mahkota bentuk bulat telur, benang sari banyak, berwarna putih, dan baunya harum. Buahnya buah buni, lonjong, panjang 2-3 cm, masih muda hijau, setelah masak warnanya merah tua keunguan. Biji satu, bentuk lonjong, keras, warnanya putih. Berakar tunggang, bercabang-cabang, berwarna coklat muda. Biasanya, buah jamblang yang masak dimakan segar. Rasanya agak asam dan sepat. Kulit kayu bisa digunakan sebagai zat pewarna. Nama daerah     : Jambe kleng (Aceh), jambu kling (Gayo), jambu kalang (Minangkabau), jamblang (Sunda), juwet, duwet, duwet manting (Jawa), dhalas, dhalas bato, dhuwak (Madura), juwet, jujutan (Bali), klayu (Sasak), duwe (Bima), jambulan (Flores). Bagian yang digunakan : daging buah (kencing manis, batuk kronis, batuk rejan, batuk pada TB paru disertai nyeri dada, nyeri lambung dan diare); biji (kencing manis, diare, disentri, gangguan pencernan seperti kembung, nyeri lambung, kram perut, keracunan Strychnin dan pembesaran limfa); kulit kayu (kencing manis dan diare). Kandungan kimia : buah jamblang mengandung minyak atsiri, fenol (methylxanthoxylin), alkaloida (jambosine), asam organik, triterpenoid, resin yang berwarna merah tua mengandung asam elagat dan tanin (Sastroamidjojo, 1988; Widyaningrum, 2011)

54

Gambar 9   Duwet atau Jamblang (sumber : http://www.gambargoogle.com)

Gowok (Eugenia polycephala Miq.)

Sinonim           : Jambosa cauliflora DC.; Syzygium polycephalum (Miq.) Merr & Perry

Familia            : Myrtaceae

Habitus            : Pohon, tinggi 10-15 m. Batang tegak, berkayu, bulat, percabangan simpodial, kasar, coklat muda. Daun tunggal, bersilang berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung meruncing, pangkal tumpul, panjang 15-25 cm, lebar 7-13 cm, halus, bertangkai pendek, pertulangan menyirip, hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, di ketiak daun di ujung batang atau cabang, tangkai silindris, panjang ± 5 cm, hijau, kelopak bentuk corong, ujung bercangap, hijau, benang sari panjang 5-7 mm, putih, kepala sari bulat, putih, tangkai putik silindris, panjang 0,5-1 cm, hijau, kepala putik bulat, putih, mahkota bentuk kuku, kuning. Buah bentuk buni, bulat, diameter 2,5-4 cm, ungu. Biji bentuk ginjal, diameter ± 1 cm, putih kehijauan. Akar tunggang, kuning kecoklatan.

Nama daerah   : Buwah Sali (Palembang), Kupa (Sunda), Gowok (Jawa)

Khasiat : kulit batang berkhasiat sebagai obat mencret dan untuk bahan penyamak kulit. Komposisi : daun, kulit batang dan buah mengandung saponin dan flavonoida, daun dan buahnya juga mengandung tanin, serta kulit batangnya mengandung polifenol. (Widyaningrum, 2011)

55

Gambar 10   Gowok (sumber : http://www.gambargoogle.com)

Jambu Klampok/Jambu Mawar (Eugenia jambos L.)

Sinonim           : –

Familia            : Myrtaceae

Habitus            : Pohon, tinggi 5-8 m. Batang tegak, bulat, percabangan simpodial, kasar, coklat. Daun tunggal, bersilang berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung runcing, pangkal meruncing, panjang 7-13 cm, lebar 3-5 cm, bertangkai pendek, hijau, pertulangan menyirip, hijau. Bunga majemuk, tersebar di permukan batang, kelopak bentuk corong ujung berbagi, panjang 2-5 mm, hijau, benang sari silindris, panjang 1-2 cm, putih, kepala sari coklat, tangkai putik silindris, putih, mahkota bentuk kuku, putih kekuningan. Buah buni, bulat, diameter 2-3 cm, licin, hijau kecoklatan. Biji bentuk ginjal, diameter ± 1 cm, putih kecoklatan. Akar tunggang, putih kotor.

Nama daerah : Jambu mawar (Jawa), Khasiat : buah digunakan sebagai obat untuk mencegah kebiasan ngompol pada anak-anak (Widyaningrum, 2011)

56

Gambar 11   Jambu mawar atau jambu klampok (sumber : http://www.gambargoogle.com)

Jambu air (Eugenia aquea Burm. f.)

Sinonim           : Cerocarpus aqueus Hassk.; Jambosa subsessilis Miq.; Syzygium aqueum (Burm.f) Alsk.

Familia            : Myrtaceae

Habitus            : Pohon tinggi 10-15 m. Batang tegak, berkayu, bulat, percabangan simpodial, kasar, coklat muda. Daun tunggal, tersebar, lonjong, tepi rata, ujung tumpul, pangkal membulat, panjang 15-20 cm, lebar 5-7 cm, bertangkai pendek, pertulangan menyirip, hijau. Bunga majemuk, bentuk karang, di ketiak daun, kelopak bentuk corong ujung bertoreh, hijau kekuningan, benang sari panjang ± 3,5 cm, putih, putik panjang ± 5 cm, hijau pucat, mahkota bentuk kuku, licin, putih kekuningan. Buah buni, bentuk lonceng, panjang 3-5 cm, masih muda hijau kekuningan setelah tua merah. Biji bentuk ginjal, diameter ± 1,5 cm, putih kecoklatan. Akar tunggang, putih kotor.

Nama daerah   : Jambe raya (Aceh), jambu air (Gayo), jambu air (Lampung), jambu aie (Minangkabau), jambu air (Sunda), jambu wer (Jawa), jambu air (Madura), jamu er (Bali), jambu jane (Makasar), jambu salo (Bugis), gora yadi (Ternate), yadi (Tidore).

Jambu air diduga berasal dari kawasan Malaysia hingga Indonesia. Sedangkan genus Myrciaria dan Eugenia berasal dari Amerika dan Hindia Barat (west Indies). Di Indonesia, kultivar jambu air cukup banyak, yang penting adalah Syzygium aqueum (jambu air), Syzygium malaccense (jambu bol), dan Syzygium samarangense (jambu semarang atau klampok). Jambu semarang lebih populer daripada jambu air lainnya. Contoh jambu semarang yang memiliki nilai ekonomi penting ialah jambu camplong (Madura). Ada dua macam jambu camplong, yaitu merah dan putih. Jambu gelas banyak dihasilkan di Kediri, warna buahnya putih kemerahan dengan ukuran buah besar, lonjong. Rasa jambu ini kurang manis dan kurang berair, berbiji 2-3 per buah. Selain digunakan sebagai rujak manis, juga untuk jenis batang bawah. Beberapa bagian dari tanaman jambu air digunakan sebagai obat tradisional. Edible portion jambu air tinggi, yaitu mencapai 80% lebih. Dari 100 g bagian yang dapat dimakan mengandung air lebih dari 90%; protein 0,3 g; lemak 0%; karbohidrat 3,9 g; serat 1 g; vitamin A 253 IU; vitamin B1 dan B2 sedikit; vitamin C 0,1 mg; energi 80 kJ per 100 g (Panggabean, 1991 dalam Ashari, 2006).

Khasiat : kulit batang berguna sebagai obat sariawan.

Komposisi : daun, kulit batang dan akar mengandung saponin dan flavonoida, selain itu daun dan akarnya juga mengandung tanin, sedangkan kulit batangnya mengandung polifenol (Ashari, 2006).

57

Gambar  12   Jambu air (sumber : http://www.gambargoogle.com)

 

Jambu Biji (Psidium guajava Linn.)

Sinonim           : –

Familia            : Myrtaceae

Habitus            : jambu biji termasuk tanaman perdu dan memiliki banyak cabang dan ranting, batang pohonnya keras. Jambu biji tersebar luas sampai ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, sampai Asia Selatan, India dan Srilanka. Permukaan kulit luar pohon jambu biji berwarna coklat dan licin. Apabila kulit kayu jambu biji tersebut dikupas, akan terlihat permukaan batang kayunya basah. Bentuk daunnya umumnya bercorak bulat telur dengan ukuran yang agak besar. Bunganya kecil-kecil berwarna putih dan muncul dari balik ketiak daun. Tanaman ini dapat tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai pada ketinggian 1.200 mdpl. Pada umur 2-3 tahun jambu biji sudah mulai berbuah. Bijinya banyak dan terdapat pada daging buahnya.

Nama daerah : Psidium guajava (Inggris/Belanda), jambu biji (Indonesia), jambu klutuk, bayawas, tetokal, tokal (Jawa), jambu klutuk, jambu batu (Sunda), jambu bender (Madura).

Khasiat : diabetes mellitus, mag, diare (sakit perut), masuk angin, beser, sariawan, sakit kulit, luka baru.

Komposisi : buah, daun dan kulit batang pohon jambu biji mengandung tanin, sedang pada bunganya tidak banyak mengandung tanin. Daun jambu biji juga mengandung zat lain kecuali tanin, seperti minyak atsiri, asam ursolat, asam psidiolat, asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin dan vitamin.

Varietas jambu biji ada 2 macam :

  1. Jambu biji berbiji : adalah jambu biji yang buahnya mengandung biji. Misalnya jambu klutuk atau jambu biji lokal, jambu susu, jambu australia, jambu getas merah, jambu bangkok, dan jambu sukun kristal.
  2. Jambu biji tanpa biji : adalah jambu biji yang daging buahnya tidak mengandung biji (buahnya tidak berbiji). Misalnya jambu apel, jambu sukun, jambu farang, jambu sukun merah.

Keadaan iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan pembuahan adalah :

  1. Suhu udara : secara umum, pertumbuhan tanaman jambu biji yang baik memerlukan suhu udara berkisar antara 30oC, akan tetapi tanaman jambu biji masih dapat tumbuh pada suhu di atas 35oC, namun pertumbuhan dan produksinya kurang baik.
  2. Kelembaban udara : tumbuh baik pada kelembaban udara yang tinggi, yakni berkisar antara 70%-80%. Namun, tanaman masih dapat tumbuh dan berbuah cukup baik ditanam di daerah yang mempunyai udara kering dan kelembaban udara rendah (kurang dari 50%), asalkan keadaan tanah cukup mengandung air.
  3. Curah hujan : daerah yang memiliki iklim basah dengan curah hujan berkisar 2.000 mm per tahun sangat baik untuk pembungaan jambu biji.
  4. Penyinaran matahari : tanaman jambu biji dapat tumbuh dengan baik dan produksi buahnya banyak serta rasanya manis memerlukan penyinaran matahari langsung sepanjang hari. Berkurangnya intensitas penyinaran matahari yang diterima akibat ternaungi, maka pertumbuhan tanaman dan produksinya tidak maksimal (Thomas, 1989; Sastroamidjojo, 1988; Ashari, 2006; Cahyono, 2006).

 

58

Gambar 13   Jambu biji (sumber : http://www.gambargoogle.com)

 

Daftar Pustaka

Ashari, S. 2006. Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia. Ed 1. CV. Andi. Yogyakarta

Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta

Biffin, E. 2005. Sorting out The Confusion: Phylogenetics of Large Genera and The Lessons from Syzygium (Myrtaceae). Canberra: CSIRO Plant Industry

Cahyono, B. 2010. Sukses Budidaya Jambu Biji di Pekarangan dan Perkebunan. Ed 1. Andi Press. Yogyakarta

Coates, D.J. and R.J. Hnatiuk. 2005. Systematics and Evolutionary Inferences from Isozyme Studies in the Genus Eremaea (Myrtaceae). Australian Systematic Botany. CSIRO 3(1) 59-74.

Departemen Kesehatan RI; Litbangkes. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jilid 2. Jakarta

Farabee, M.J. 2001. The Modern View of Evolution. Estrellamountain. Hale, W.G., J.P.

http://id.wikipedia.org/wiki/jeruk diakses tanggal 11 Oktober 2015

http://citrusbiosecurity.blogspot.com/p/jeruk.html diakses tanggal 11 Oktober 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/jambu-jambuan diakses tanggal 11 Oktober 2015

http://www.kompasiana.com diakses tanggal 11 Oktober 2015

http://www.gambargoogle.com diakses tanggal 3 Desember 2015

Isaak, M. 2005. Index to Creationists Claims. Claim CB910. No New Species Have Been Observed. Talkorigins. http://www.talkorigins.org/indexcc/CB/CB910.html

Kenneth J., M.L. Zjhra, M. Nepokroeff, C.J. Quinn, and P.G. Wilson. 2000. Phylogenetic Relationships, Morphological Evolution, and Biogeography in Myrtaceae Based On ndh F Sequence Analysis.. Madison: University of Wisconsin.

Kirst, M., A.A. Myburg, J.P.G. De León, M.E. Kirst, J. Scott and R. Sederoff. 2004. Coordinated Genetik Regulation of Growth and Lignin Revealed by Quantitative Trait Locus Analysis of cDNA Microarray Data in an Interspecific Backcross of Eucalyptus. North Carolina State University, Raleigh, North Carolina 27695. Plant Physiology, 135: p. 2368.

Kompas. 2003. Mohamad Reza Tirtawinata Penemu Varietas Jambu Air Unggul. Kompas. Jakarta . P.T. Kompas Media Nusantara. Selasa, 09 September 2003.

Lange, de P., B. Murray, T. Armstrong, and H. Toelken. 2002. Low levels of sequence variation accompany speciation in Kunzea (Myrtaceae). Leiden: A 3-day international symposium from 13 to 15 November 2002 in Leiden.

McKinnon, E., D.A. Steane, B.M. Potts and R.E. Vaillancourt. 1999. Incongruence between chloroplast and species phylogenies in Eucalyptus subgenus Monocalyptus (Myrtaceae). Hobart: University of Tasmania. http://www.amjbot.org/cgi/content/full/86/7/1038

Mobot. 1995. Diversity, Endemism, and Extinction in the Flora and Vegetation of New Caledonia. St. Louis. Missouri Botanical Garden. http://www.mobot.org/MOBOT/Research /newcaledonia/roleshtml

Margham, and V.A. Saunders. 1995. Collins Dictionary of Biology. Harper Collins ublishers. Glasgow G40NB.

Napitupulu & Hidayat. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Cet 1. Agriflo (Penebar Swadaya). Jakarta

Rosenzweig, M.L. 2001. Lost of Speciation Rate will Impoverish Future Diversity. Department of Ecology and Evolutionary Biology. University of Arizona. Tucson. AZ 85721. PNAS. 98: No. 10. p. 5494.

Sim, S.C. 2002. Hybridization as a mode of speciation in plants. Seminar Article. Wilson, P. 1999. Evolution of  the Myrtle Family in Australia. Australian Plants Online. Sydney. http://farrer.riv.csu.edu.au/ASGAP/APOL13/ mar99-1.html

Sastroamidjojo, S. 1988. Obat Asli Indonesia. Cet 4. Dian Rakyat. Jakarta

Tjitrosoepomo, G. 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada Univ.Press. Yogyakarta

Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Cet 1. Gadjah Mada Univ.Press. Yogyakarta

Widodo, P. 2007.  Spesiasi pada Jambu-Jambuan (Myrtaceae): Model Cepat dan Lambat. Biodiversitas. Vol. 8 No.1. ISSN: 1412-033X. Halaman: 79-82

Widyaningrum, H. 2011. Kitab Tanaman Obat Nusantara. Cet 1. MedPress. Yogyakarta

Tinggalkan komentar