Famili Sapindaceae

SAPINDACEAE

   Angiospermae merupakan kelompok tumbuhan yang muncul pada akhir evolusi tumbuhan (Campbell et al, 1997), dan kelompok ini mempunyai keanekaragaman paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain (Wallace at al, 1996). Dalam suatu populasi atau jenis sangat mungkin dijumpai variasi, munculnya variasi ini dapat disebabkan oleh mutasi dan rekombinasi genetik (Alters dan Alters, 2006). Selain itu munculnya variasi dalam suatu populasi dapat terjadi karena spesiasi dan barier geografis (Raven at al, 2005).

Beberapa ahli bersilang pendapat mengenai jumlah anggota dari Famili Sapindaceae, Jud et al. 2002 mengatakan terdapat 147 marga dan 2.215 jenis, menurut Simpson (2006) 133 marga dan 1.560 jenis, sedangkan menurut Buerki et al. (2009) 140 marga dan 1.990 jenis. Jumlah jenis dari suku ini juga dari tahun ke tahun juga bervariasi. Pada tahun 2002 sampai 2006 terdapat penurunnan jumlah, hal ini kemungkinan disebabkan oleh revisi nama nama ilmiah yang berakibat beberapa nama menjadi sinonim. Pada tahun 2006 sampai 2009 terjadi kenaikan jumlah jenis, hal ini diduga disebabkan oleh penemuan jenis jenis baru yang belum diketahui.

Genus Dimocarpus merupakan salah satu anggota dari famili Sapindaceae (Leenhouts, 1971). Beberapa jenis yang penting secara ekonomis adalah Dimocarpus longan var. longan (lengkeng) dan Lichi chinensis (leci) (Wu et al, 2007). Namun demikian, Dimocarpus memiliki kerabat-kerabat liar yang memiliki potensi sebagai sumber plasma nutfah untuk rekayasa genetik tanaman Dimocarpus. Buah dari tanaman ini biasanya di makan segar dan dibuat minuman serta batang mempunyai kualitas yang bagus untuk kayu bangunan (Wu et al. 2007). Kerabat liar anggota Dimocarpus saat ini semakin berkurang, hal ini sebagai dampak kegiatan manusia, berupa pemanfaatan berlebih, degradasi/fragmentasi/ kerusakan/hilangnya habitat, introduksi dari species pendatang, pencemaran, pemanasan global, perubahan iklim global, dan sinergi dari faktor-faktor tersebut (Indrawan 2007, Smith 2011, Maron 2011, Northfield 2013). Suatu komunitas biologi berpotensi untuk mendapat ancaman. Konservasi merupakan upaya untuk menjaga biodiversitas, menjaga ekosistem tetap sehat sebagai modal untuk memberikan manfaat bagi manusia (Indrawan et  al, 2007).

Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya hayati yang sangat besar (mega biodiversity) disebabkan oleh letak geografisnya yang berada antara dua benua dan dua lautan, yaitu benua Asia dan Australia dan lautan  Pasifik dan Atlantik. Dari segi iklim.Indonesia termasuk beriklim tropis basah dengan beragam agroekosistem (Noor, 2015). Hal ini menjadikan indonesia sebagai satu dari delapan pusat keanekaragaman genetika tanaman di dunia khususnya untuk buah-buahan tropis seperti durian, rambutan dan bacang (mangga) (Uji, 2007). Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia cukup tinggi dan masih banyak yang belum dimanfaatkan secara baik. Buah-buahan memiliki kontribusi yang penting dalam pemenuhan gizi masyarakat, dimana buah menyediakan sumber tambahan untuk karbohidrat, maupun vitamin dan mineral. Buah-buahan juga mampu memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan dan memberikan sumber pendapatan bagi petani kecil jika dilakukan pengelolaan yang baik (Susi, 2014).

 

Sumber Keanekaragaman Pada Keluarga Sapindaceae

  1. Evolusi

Salah satu anggota angiospermae adalah Sapindaceae, yang dikenal sebagai suku lerak-lerakan. Sapindaceae dalam arti sempit hanya meliputi suku ini saja, namun dalam perkembangannya, suku Aceraceae dan Hypocastanaceae digabung ke dalam Sapindaceae (Jud et al, 2002).

Sapindaceae diusulkan untuk dibagi menjadi empat anak suku yaitu Sapindoideae, Dodonaeoideae, Hippocas-tanoideae, dan Xanthoceroideae (Harring-ton et al, 2005). Berdasarkan skenario bi-ogeografi, diduga bahwa Sapindaceae be-rasal dari Eurasia sekitar awal Cretaceous, setelah itu menyebar ke Asia Tenggara pada akhir Cretaceous atau awal Palaeo-cene. Dari sini, nenek moyang Sapin-daceae menyebar ke Australia – Antarti-ka, diikuti oleh rangkaian penyebaran yang lebih luas, baik di belahan bumi utara maupun selatan (Buerki et al, 2011). Skenario biogeografi tersebut menduga bahwa wilayah Asia Tenggara merupakan pusat diversifikasi dan penyebaran Sapin-daceae di daerah tropik.

Peneliti lain melihat evolusi Sapindaceae dari segi kromosom yang jumlahnya bervariasi, ada yang 2n = 14, sampai 2n = 96. Variasi jumlah kromosom menunjukkan bahwa disploidi mungkin memainkan peranan penting dalam evolu-si suku ini (Lombello & Forni-Martins 1998). Bukti bahwa evolusi merupakan sumber keanekaragaman bisa diperoleh dari fosil, distribusi sifat-sifat umum kelompok organisme, variasi geografi dan studi lingkungan (Judd et al, 2002).

 

  1. Spesiasi dan Hibridisasi

Spesiasi dapat dihasilkan dari pe-rubahan adaptif (Jud et al. 2002). Suatu jenis yang telah memasuki lingkungan ba-ru yang berbeda dari lingkungan induknya dapat beradaptasi di tempat tersebut. La-ma-kelamaan dapat terjadi perubahan secara lambat dalam morfologinya, mungkin juga ada isolasi reproduksi yang mencegah keberhasilan perkawinan. Adanya rintangan geografi dapat pula menjadi penghalang bagi jenis terse-but untuk dapat mengadakan perkawinan (Jud et al. 2002). Salah satu masalah dalam mempelajari spesiasi adalah prosesnya yang lama. Kita hanya bisa melihat peristiwa ini setelah bertahun-tahun lamanya dan harus menduga suatu proses berdasarkan polan-ya (Jud et al. 2002).

Pembentukan variasi pada tana-man baru dapat juga dihasilkan melalui proses hibridisasi. Meskipun spesiasi hibrid banyak berasosiasi dengan polip-loidi, namun pada beberapa kasus dijumpai hibridisasi diploid, dimana persi-langan antara dua jenis diploid menghasilkan jenis diploid pula (Jud et al. 2002).

Anggota Sapindaceae yang men-galami hibridisasi dapat dijumpai pada Aesculus L. Contoh anggota marga ini adalah jenis A. pavia L., A. sylvatica W. Bartram, dan A. flava Sol. Hibrid yang terbentuk adalah A sylvatica x A. pavia dan A sylvatica x A. flava. Ketiga jenis ini dan hibridnya ada di bagian tenggara Amerika Serikat (Hardin, 1957).

 

Munculnya Variasi di alam

Munculnya variasi disebabkan oleh beberapa hal:

 

  1. Mutasi

Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada bahan genetik (DNA maupun RNA), baik pada taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada tingkat  kromosom. Mutasi pada tingkat kromosomal biasanya disebut aberasi. Mutasi pada gen dapat menyebabkan munculnya alel baru dan menjadi dasar munculnya variasi-variasi baru pada spesies (Alters dan Alters, 2006)

  1. Rekombinasi gen

Merupakan proses pemutusan untai bahan genetik (biasanya DNA, namun juga bisa RNA) yang kemudian diikuti oleh penggabungan dengan molekul DNA lainnya. Proses ini menyebabkan keturunan suatu makhluk hidup memiliki kombinasi gen yang berbeda dari tetuanya. Rekombinasi genetik dapat menyebabkan munculnya variasi baru pada keturunannya karena adanya perbedaan genetik.

  1. Aliran gen

Aliran gen (gene flow) adalah pertukaran gen diantara populasi yang berbeda jenis yang umumnya menghasilkan perubahan simultan frekuensi gen di lokus-lokus dalam lingkung gen penerimanya. Hal ini juga dikenal sebagai migrasi gen. Ketika individu dari satu populasi bermigrasi ke populasi lain,  frekuensi alel (proporsi individu yang membawa alel yang sama) mengalami perubahan dalam populasi. Dengan kata lain, jika individu A dimasukkan ke populasi B, maka ada perubahan dalam komposisi lingkung gen dari populasi B (melalui perkawinan). Hal ini dapat menyebabkan penambahan varian baru dari alel dalam populasi.

  1. Hanyutan genetik (Genetic drift)

Hanyutan genetika atau ingsut genetik merupakan perubahan frekuensi alel dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang terjadi; selain itu hanyutan genetik juga terjadi karena peranan probabilitas dalam penentuan apakah suatu individu akan bertahan hidup dan bereproduksi atau tidak. Hanyutan ini berhenti ketika sebuah alel pada akhirnya menjadi tetap, baik karena menghilang dari populasi, ataupun menggantikan keseluruhan alel lainnya. Hanyutan genetika dapat mengeliminasi beberapa alel dari sebuah populasi. Hanyutan genetika juga dapat menyebabkan dua populasi yang terpisah dengan stuktur genetik yang sama menghanyut menjadi dua populasi divergen dengan set alel yang berbeda.

 

  1. Seleksi alam

Seleksi alam yang dimaksud adalah bahwa makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya lama kelamaan akan punah. Yang tertinggal hanyalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Dan sesama makhluk hidup akan saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya. Setiap spesies mempunyai kemampuan untuk menghasilkan banyak keturunan setelah dewasa. Melalui proses reproduksi, populasi makhluk hidup dapat meningkat secara geometrik. Setiap individu hasil perkawinan memungkinkan mempunyai variasi baru, misalnya  variasi warna, bentuk, maupun kemampuan bertahan diri di lingkungan. Variasi pada tumbuhan dapat juga dihasilkan melalui spesiasi. Spesiasi merupakan proses pembentukan suatu spesies baru. Spesiasi dapat dihasilkan dari perubahan adaptif Suatu jenis yang telah memasuki lingkungan baru yang berbeda dari lingkungan induknya dapat beradaptasi di tempat tersebut. Lama kelamaan dapat terjadi perubahan secara lambat dalam morfologinya, mungkin juga ada isolasi reproduksi yang mencegah keberhasilan perkawinan (Jud et al, 2008).

 

Morfologi  Marga Dimocarpus

Dimocarpus adalah tumbuhan dengan habitus pohon  yag dapat tumbuh mencapai ketinggian 20 m, tumbuh tegak atau menyebar tergantung pada kultivarnya. Diameter batang Dimocarpus dapat mencapai 60 cm, warna batang coklat, permukaan batang kasar, percabangan yang banyak dan menyebar membentuk tajuk pohon yang membulat dan daun yang rimbun. Susunan daun paripinnate dengan 6-9 helai daun, warna daun hijau tua, sisi daun bagian atas mengkilat dan sisi bawah hijau pucat. Tepi daun rata, ujung daun runcing, pangkal daun membulat. Bunga muncul pada ujung tangkai atau terminal, ukuran bunga kecil, warna coklat kekuningan, calix 2-3 mm, petal 5, globrous, unisexsual, seringkali monoceus. Stamen 6-8, ada yang panjang ada yang pendek tergantung kultivar. Putik mempunyai ukuran yang kecil. Bentuk buah bulat sampai elips, warna buah coklat, aril bual berwarna putih, rasa manis, halus, ketebalan aril tergantung pada masing-masing kultivar. Biji bulat, warna hitam kecoklatan mengkilat (Leenhouts, 1971).

 

Distribusi Marga Dimocarpus

Dimocarpus mempunyai penyebaran yang luas, mulai dari Asia Selatan sampai di Asia tenggara dari Ceylon dan Maleysia timur (Leenhouts, 1971). Selain itu Dimocarpus juga ditemukan di Astralia (Leenhouts, 1973).

Taksonomi Dimocarpus

Dimocarpus merupakan famili Sapindaceae yang memiliki variasi yang cukup besar. Terdapat 7 spesies yaitu Dimocarpus longan, D. dentatus, D. Foveolatus, D. Fumatus, D. Gardneri Leenh., D. informis Lour. D. litchi Lour (Leenhouts 1971, 1973). Spesies menyebar di Srilanka, india dan Malaysia timur. Dimocarpus australianus merupakan kerabat berada di Queensland, Australia. Dimocarpus terdiri dari 6 sub spesies yaitu D. fumatus ssp. Fumatus, D. fumatus ssp. Indochinensis Leenh., D. fumatus ssp. Javensis Leenh., D. fumatus ssp. Philippinensis Leenh. Selain itu Dimocarpus juga terdiri dari 5 varietas yaitu : Dimocarpus longan var. echinatus Leenh., Dimocarpus longan var. longan, Dimocarpus longan var. longepetiolulatus Leenh., Dimocarpus longan var. obtusus, Dimocarpus longan var. malesianus Leenh. Dengan spesies yang sudah dikomersialkan adalah Dimocarpus longan Lour. dan Dimocarpus litchi.

Selain itu terdapat nama lokal yaitu ‘lam-yai’ (Thailand), ‘kyet mouk’ (Myanmar), ‘mien’ (Cambodia), ‘nam nhai’ (Laos), ‘nhan’ (Vietnam), dan ‘leng keng’ (Malaysia dan Indonesia) (Wong, 2000).  Beberapa nama ilmiah yang lain atau sinonim yaitu Nephelium longana (Lam.) Cam. dan  Euphoria longana Lam (Wong, 2000).

 

Keanekaragaman genetik Genus Dimocarpus

Genus Dimocarpus memiliki dua subspesies yang sudah dibudidayakan yaitu subspesies longan dan subspesies malesianus, masing-masing memiliki varietas. Terdapat tiga tipe longan yang sudah dibudidayakan di Thailand (Subhadrabandhu, 1990). Tipe pertama memiliki buah yang kecil dan aril yang tipis, tipe kedua adalah longan asli Thailand dengan nama lokal “lamyai”. Tipe ketiga memiliki buah besar dan biji yang kecil dengan nama lokal “lamyai kraloke”. Selain tiga varietas tersebut, masih ada varietas lainnya yaitu longepetiolulatus, obtusus dan magnifolius, tiga varietas terakhir adalah kerabat liar  (Huang, 1999).

Subspesies lainnya adalah subspesies malesianus, mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi buah komersial atau bahan untuk pemuliaan menjadi buah komersial, terutama varietas  malesianus dan echinatus. Hal ini disebabkan karena kedua varietas ini memiliki sifat toleran terhadap kondisi daerah katulistiwa. Subspesies malesianus merupakan subspesies asli asia tenggara dengan variasi terbesar ditemukan di Kalimantan yaitu terdapat kurang lebih 30-40 ras lokal (Leenhouts, 1971; van Welzen et al., 1988). Keragaman subspesies ini di Sarawak di Pulau Kalimantan memiliki didokumentasikan oleh Wong dan Gan (1992) dan Wong (2000). Berdasarkan karakter buah subspesies malesianus dibedakan menajdi 4 yaitu: Isau, Sau, Mata Kucing dan Kakus)

Subspesies Echinatus berbeda buahnya dengan malesianus, subspesies echinatus memiliki duri yang agak panjang, menyerupai rambutan. Subspesies ini ditemukan didaerah sabah, demikian juga kakus (van Welzen et al., 1988). Dengan banyaknya subspesies dan varietas akan banyak memberikan keuntungan, terutaman sebagai sumber genetik untuk perbaikan sifat tanaman genus Dimocarpus.

 

Jenis yang telah dikomersialkan

  1. Dimocarpus longan var. longan

Salah satu variaetas Dimocarpus yang telah menjadi buah komersial adalah Dimocarpus longan var. longan atau sering disebut lengkeng. Tanaman ini melakukan penyerbukan silang, dengan tiga tahapan pembungaan. Penyerbukan dibantu oleh serangga dengan jam yang efektif. Dimocarpus longan var longan merupakan varietas yang memiliki banyak sekali kultivar yaitu kurang lebih 41 kultivar (Lin et al, 2004).

Lengkeng berasal dari negeri cina (daerah subtropis) agak menyimpang dari familinya sendiri, yaitu rambutan ( Naphelium lappaceum), Kapulasan (Naphelium mutabile) dan Leci (Naphelium litchi atau lichi sinensis). Pohon lengkeng besar dan bercabang banyak, daunnya rimbun, dan mampu memproduksi diatas umur 100 tahun . Buahnya kecil, lebih kurang sebesar kelereng, warna kulit buahnya kecoklatan seperti buah sawo dan tidak berbulu, daging buah berwarna putih agak bening (seperti rambutan, bijinya satu dan berwarna hitam kecoklatan, rasa buahnya manis dengan aroma yang khas.

Tanaman lengkeng dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Lengkeng jantan, yaitu tanaman lengkeng yang hanya mempunyai bungan jantan saja. Lengkeng betina, yaitu tanaman lengkeng yang hanya mempunyai putik saja atau bakal buah. Lengkeng yang mempunyai dua jenis bunga, yaitu tanaman lengkeng yang mempunyai bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon. Lengkeng hermaprodit, yaitu lengkeng yang mempunyai bunga yang mengandung benang sari dan putik secara bersama-sama (Saputra, 2008). Varietas longan mempunyai jumlah subspesies yang cukup banyak yaitu terdapat 22 subspesies. Subspesies longan tersebar mulai dari asia tenggara sampai Hawai (Yanemoto et al, 2006). Lengkeng adalah buah yang digemari oleh masyarakat sehingga mempunyai beberapa varietas yang mempunyai sifat unggul, sebagai usaha manusia melalui breeding atau perkawinan silang.

Gambar 1. Dimocarpus longan var. longan (lengkeng)

Beberapa varietas yang mempunyai sifat unggul antara lain yaitu : Lengkeng Itoh, adalah lengkeng introduksi dari Thailand, merupakan lengkeng dataran tinggi, dapat berbunga di dataran rendah dengan perlakuan tertentu. Kelebihan dari lengkeng ini adalah buah berukuran sedang, daging buah tebal, biji kecil, rasa manis dan kering. Lengkeng Selarong, merupakan keturunan dari lengkeng Bandungan (dataran tinggi) yang telah beradaptasi cukup lama di daerah dataran rendah. Berkembang baik di daerah Selarong (ketinggian tempat ± 20 m dpl). Berbuah setahun sekali pada bulan Juni-Juli, berukran kecil sampai sedang dan mempunyai rasa manis. Lengkeng Diamond River, merupakan lengkeng introduksi dari Thailand. Daya adaptasi cukup luas, dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, tetapi lebih banyak berkembang di dataran rendah. Berbuah genjah, bibit dari perbanyakan vegetative dapat menghasilkan buah saat umur 1 tahun sedangkan bibit dari biji dapat berbuah saat umur 2-3 tahun. Rasa buah manis dan daging buah basah. Berbuah 2-3 kali setahun. Saat ini, daerah Demak, Semarang, dan Pontianak merupakan sentra populasi lengkeng Diamond River di Indonesia. Buah lengkeng ini banyak dijumpai mulai dari pasar tradisional sampai supermarket, dan biasa disebut dengan lengkeng .“Bangkok” (Sugiyatno, 2007). Lengkeng Pringsurat, merupakan lengkeng yang pertama-tama dikembangkan di Indonesia. Lengkeng Pringsurat telah dilepas dengan nama varietas Batu pada tahun 1997. Lengkeng jenis ini banyak ditemukan di daerah Temanggung dan Ambarawa. Biji agak kecil, rasa buah manis, mudah mengelupas (nglontok), dan beraroma harum (Sugiyatno, 2007). Beberapa aksesi klengkeng yang ada di indonesia disajikan pada Tabel 1.

 

Tabel 1. Beberapa aksesi lengkeng di Indonesia

No Nama Aksesi Asal Keterangan
1 Ambarawa Ambarawa Lokal
2 Pingit Pingit, Temanggung Lokal
3 Tawangmangu 1 BBI Tawangmangu Lokal
4 Tawangmangu 2 BBI Tawangmangu Lokal
5 Tawangmangu 3 BBI Tawangmangu Lokal
6 Bandungan 1 Bandungan Lokal
7 Salatiga Tingkir, Salatiga Lokal
8 Bandungan 3 Bandungan Lokal
9 Bandungan 4 Bandungan Lokal
10 Purworejo 1 Maron, Purworejo Lokal
11 Purworejo 2 Pacalan, Purworejo Introduksi
12 Purworejo 3 Bener, Purworejo Lokal
13 Magelang 1 Kalirejo Lokal
14 Magelang 2 Salaman Introduksi
15 Magelang 3 Kalirejo Lokal
16 Klaten 1 Prambanan Introduksi
17 Klaten 2 Prambanan Introduksi
18 Klaten 3 Prambanan Introduksi
19 Klaten 4 Prambanan Introduksi
20 Demak 1 Demak Lokal
21 Demak 2 Demak Introduksi
22 Demak 3 Demak Introduksi
23 Demak 4 Demak Introduksi
24 Demak 5 Demak Introduksi
25 Demak 6 Demak Introduksi
26 Demak 7 Demak Introduksi
27 Demak 8 Demak Introduksi
28 Blitar 1 Brangah Lokal

(Mariana, 2013)

 

  1. Litchi chinensis

Litchi berbeda genus dengan dimocarpus tetapi dalam keluarga yang sama yaitu Sapindaceae dan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Dimocarpus. Berasal dari daerah antara selatan Cina, Viet Nam Utara dan Semenanjung Melayu. Litchi chinensis merupakan tanaman buah komersial yang memiliki kurang lebih 300 kultivar (Ouyang et al, 2005).

9

Gambar 2. Litchi chinensis

Banyak pohon lychee liar ditemukan di hutan lembab di Pulau Hainan dari ketinggian rendah sampai dengan 600 dan 1.000 m, dan di bawah 500 m di daerah perbukitan dari Leizhou Semenanjung, barat Guangdong dan Guangxi timur. Tanaman leci memiliki bunga yang kecil, bunga berwarna hijau kekuningan. Memiliki ranting tebal, dengan 7-11 benang sari dalam kelompok tetap, buah halus dengan tonjolan sampai dengan 1mm. Merupakan bunga majemuk dengan bentuk malai. Menurut (Tjitroe soepomo, 2007).

Litchi memiliki subspesies  lain yang belum dikomersialkan. Yaitu bagian jenis yang ditemukan philippinensis ditemukan di Filipina (Luzon, Sibuyan, Samar dan Mindanao) dan Papua Nugini pada elevasi tinggi, sedangkan sub-spesies javensis ditemukan Semenanjung Melayu dan Indonesia. Sub-spesies javensis adalah spesimen langka ditemukan di kebun Cina di Jawa Barat dan Indo-Cina (Wong, 2000).

 

Jenis yang belum di kembangkan menjadi buah komersial

  1. Dimocarpus fumatus subsp. fumatus

Sinonim: Nephelium fumatum Blume, Pseudonephelium  fumatum (Blume) Radlk. p.p. nom. illeg. Distribusi Subspesies fumatus ditemukan hampir di seluruh Kalimantan dan mungkin juga terdapat di Malaysia Paninsula. Dimocarpus fumatus juga terdapat di China selatan, Indo Cina, Thailand dan Philipina, Katumbar, Mambuakat, Merakiang; Sabah : Kekucing.

Gambar 3. Dimocarpus fumatus subsp. fumatus

Mempunyai habitus pohon yang tidak terlalu tinggi, mencapai 27 m. Warna batang gelap ke abu abuan. Daun berwarna hijau muda, ujung daun runcing, pangkal daun  membulat, daun tersusun opposite, panjang daun 6,5-28 oleh 2,8-10,5 cm, tepi daun rata. Bunga tersusun dalam fluorescen, buah berwarna hijau, dengan aril yang tebal sampai tipis, rasa manis agak asam. Biji buah berwarna putih coklat.

Ekstrak etanol dari  kulit batang Dimocarpus fumatus   menunjukkan in-vitro  yang baik dan dapat digunakan sebagai  bahan kimia  KB ( Voutquenne et al, 1999) . Selain itu terdapat Dua komponen utama yang diidentifikasi sebagai benzokuinon , sargaquinone , dan sebuah chromene , sargaol. Selain itu juga ditemukan dua glucosides dengan rantai yang panjang dan terdapat gugus alkohol yaitu 1- O -[ a -L-rhamnopyranosyl-(1 → 2)- b -D- glucopyranosyl-(1 → 3)- a -L-rhamnopyranosyl-(1 → 6) – b -D- glucopyranosyl]hexadecanol and 1- O -[[ a -L-arabinopyranosyl-(1 → 3)]- a -L-rhamnopyranosyl-(1 → 2)- b -D-glucopyranosyl-(1 → 3)- a-L-rhamnopyranosyl-(1 → 6)- b -D- glucopyranosyl]. Bagian tanaman yang mengandung saponin dapat juga  digunakan sebagai racun ikan  dan sebagai deterjen untuk mencuci pakaian.

 

  1. Dimocarpus longan subsp. longan var. echinatus

Synonim : Euphoria microcarpa Radlk., Euphoria nephelioides Radlk., Nephelium schneideri Merr. Distribusi: Malesia: Borneo, south Philippines (Mindanao dan Basilan).

Buah var. echinatus mempunyai tampilan yang sangat menarik, selain itu mempunyai rasa yang manis. Tetapi varietas ini belum banyak diekplorasi untuk dijadikan buah segar atau buah kaleng.

Gambar 4. Dimocarpus longan subsp. longan var. echinatus

Pohon mencapai ketinggian 9-30 m, dengan batang dari 30-80 cm, penopang hingga 1-2 m tinggi dan subterete, cabang pucat keabu-abuan. Daun pada panjang tangkai daun, 3-5 jugate, panjang 25-35 cm (Pelat 1- 2). Daun muda fl ushes coklat kemerahan, Lea fl ets pada 3-15 mm petiolule panjang, lonjong ke ellipticobovate, 15-20 cm lebar panjang 5-8 cm, acuminate apex dan basis cuneate dan seluruh marjin, gelap-hijau dan gundul di atas, pucat hijau di bawah dengan terkesan pertengahan rusuk dan 1-12 pasang lateral vena. Terminal malai, puber padat, bunga-bunga seperti pada var. malesianus dengan bulat telur menit kelopak. Secara umum kegunanaan khusu dan kandungan kimia belum pernah dilaporkan. Tetapi buah dari subspesies subsp. longan var. echinatus dapat dimakan dan memiliki rasa yang manis, sedangkan  kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan.

 

  1. Dimocarpus longan subsp. malesianus var. malesianus

Sinonim :Euphoria cambodiana Lecomte, Euphoria fragifera Gagnep, Euphoria didyma Auct. Non Balnco, Euphoria elongata Radlk., Euphoria gracilis Radlk., Euphoria malaiensis f. Declavata Radlk., Euphoria microcarpa Radlk., Euphoria pallens , Euphoria sclerocarpa Radlk., Euphoria setosa Radlk., Euphoria sp. Ceron, Euphoria succulenta Radlk., Dimocarpus litchi Lour., Nephelium longana Auct. non Cambess., Nephelium malaiense Griff., Pometia curtisiiKing, Sapindus cinereus Turcz. var. malesianus (basionym), Xerospermum ferrugineum C.E.C. Fischer.  Distribusi: subspecies Dimocarpus longan Lour. ssp. malesianus adalah Asia tenggara. Dibagi menjadi beberapa varieties: var. malesianus and var. echinatus

Tanaman mata kucing (Dimocarpus malesianus) adalah tanaman buah yang merupakan variasi dari Dimocarpus longan,  yang dimanfaatkan buahnya. Buah mata kucing memiliki rasa yang manis dan secara ekonomi memiliki propek dan potensi yang cukup besar untuk dikembangkan (Saraswati, 2009), harga per kilogramnya mencapai Rp. 20.000 – Rp. 25.000 (Darmawan, 2005).

Buah mata kucing merupakan buah endemik Kalimantan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan (Noor, 2015). Buah mata kucing adalah subspesies dari buah longan (lengkeng) yang mempunyai potensi untuk dikembangkan karena buah mata kucing sangat adaptif pada iklim tropik. Tetapi, data tentang data genetik untuk keperluan breeding dan pengembangan belum ada (Wong, 2000). Diversitas buah mata kucing di Serawak pulau Kalimantan telah dilaporkan oleh Wong dan Gan (1992) dan Wong (2000), yang menyebutkan bahwa terdapat 4 jenis buah mata kucing berdasarkan karakter buah, yaitu: Ihau, Sau, Mata Kucing, dan Kakus. Penelitian tentang perbanyakan, penyimpanan biji dan buah telah dilakukan oleh Choo, 1992 dan Kho et al, 2010. Kandungan kimia buah dan daun mata kucing telah dilaporkan oleh (Azmi et al, 2012)

Beberapa varietas maleisianus  beradasarkan karakter buah:

  1. Isau

Buah berwarna hijua, dengan kulit terdapat bintil, bentuk buah bulat, dari buah muda sampai matang berwarna hijau, rasa buah manis, mempunyai kandungan vitamin C, kalsium dan Fe yang tinggi. Bentuk daun kecil, tangkai daun pendek, diameter ranting kecil. Ukuran bunga kecil, warna kelopak kekuiningan.

14

Gambar 5. Dimocarpus longan subsp. malesianus var. malesianus ‘Isau’

  1. Mata Kucing

Buah mata kucing mirip dengan buah lengkeng, tetapi mempunyai bintil pada kulitnya. Warna buah kuning kecoklatan, bulat, memiliki aril yang tipis dan rasanya manis.

15

Gambar 6. Dimocarpus longan subsp. malesianus var. malesianus ‘Mata Kucing’

  1. Sau

16

  1. Kakus

17

Gambar 8. Dimocarpus longan subsp. malesianus var. malesianus ‘Kakus’

Penelitian Kedepan

Penelitian tentang kekayaan keanekaragaman jenis dan plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia perlu dilakukan. Langkah awal adalah dengan melakukan inventarisasi kekayaan keanekaragaman jenis dan plasma nutfah buah-buahan asli. Langkah selanjutnya adalah seleksi khususnya terhadap jenis-jenis/populasi buah-buahan asli yang potensial dan bernilai lebih. Hasil seleksi tersebut dapat dipergunakan dan dimanfaatkan sebagai material dasar pemuliaan.

Penelitian dapat dibagi menjadi 2 tahapan yaitu : klasifikasi berdasarkan karakter morfologi dan klasifikasi berdasarkan analisis isozim dan DNA marker. Klasifikasi morfologi akan menunjukkan hubungan tanaman dengan proses adaptasi lingkungan, sedangkan karakterisasi isozim akan menunjukkan hubungan kekerabatan antar varietas. Penggunaan marker seperti RAPD AFLP, SSR, (Sharon et al, 1995; Viruel Hormaza, 2004) dan ISSR sangat disarankan (Degani et al, 2003). Pengklasifikasian berdasarkan morfologi dan karakter isozim bertujuan untuk memudahkan breeding tanaman untuk mendapatkan spesies baru yang mempunyai sifat yang kita harapkan. Karena dalam proses breeding, data genotip dari tanaman-tanaman tersebut sangatlah penting.

 

Daftar Pustaka

Alters, S., Alters, B. 2006. Biology, Understanding Life. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken.

Azmi SMN, Jamal P, Amid A (2012) Xanthine oxidase inhibitory activity from potential Malaysian medicinal plant as remedies for gout. Int Food Res J 19(1):159–165

Buerki, S., Forest, F., Acevedo-Rodrigues, P., Callmander, M.W., Nylander, J.A.A., Harrington, M., Sanmar-tin, I., Kupfer, P., & Alvarez, N. (2009). Plastid and nuclear DNA markers reveal intricate re-lationships at subfamilial and tribal levels in the sopberry family (Sapindaceae). Molecu-lar Phylogenetics and Evolution, 51: 238-258.

Buerki, S., Forest, F., Alvarez, N., Nylander, J.A.A., Arrigo, N., & Sanmartin, I. (2011). An evalua-tion of new parsimony-based versus parametric inference methods in biogeography: a case study using the globally distrib-uted plant family Sapindaceae. [Electronic version]. Journal of Biogeography, 38: 531-550.

Campbell N.A., Mitchell L.G., Reece J.B. (1997). Biology, Concepts and Connections. 2nd. The Ben-jamin/ Cummings Publishing Company. Menlo Park.

Choo W (1992) Studies on the propagation, seed storage and fruit storage of Dimocarpus longan subspecies malesianus variety malesianus . Acta Hortic (ISHS) 292:69–72

Darmawan, R. 2005. Mata kucing dan mata anjing lengkeng dataran rendah Asli Bulungan. Majalah Trubus xxxvi. 34-35.

Degani, C., Deng, J.S., Beiles, A., El-Batsri, R., Goren, M., Gazit, S., 2003. Identifying lychee (Litchi chinensis Sonn.) cultivars and their genetic relationships using intersimple sequence repeat (ISSR) markers. J. Am. Soc. Hortic. Sci. 128 (6): 838–845.

Huang, Q.C., and Dilcher, D. L. (1994), Evolutionary and paleoecolo-gycal implications of fossil plants from the Lower Creta-ceous Cheyenne Sandstone of the Western Inlenor. In Shurr. G. W., Ludvigson. G. A., and Hammond, R. H.. eds., Perspec-tives on the Eastern Margin of the Cretaceous Western Interior Basin: Boulder. Colorado. Geo-logical Society of America Spe-cial Paper : 287.

Judd, W.S., Campbell, C.S., Kellog, E.A., Stevens, P.F., & Donoghue, M.J. (2002). Plant Systematics, A Phylogenetic Approach. 2nd. Sinauer Associates, Inc. Sunder-land.

Judd,WS., Campbell, C.S., Kellog, E.A., Stevens, P.F., & Donoghue, M.J.  2008. Plant Systematics: A Phylogenetic Approach Third Edition.        Sinauer Associates,nc. Publishers.

Harrington, Mark, G., Edwards, Karen, J., Sheila, A., Chase, Mark, W., Gadek, & Paul A. (2005). Phy-logenetic inference in Sapin-daceae sensu lato using matK and rbcl DNA sequences. Sys-tematic Botany, 30: 366-382.

Indrawan M., Primack R.B., Supriatna J., 2007. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Bina

Sains Hayati Indonesia

Kho SL, Lau CY, Sim SL (2010) Induction of epicormic shoots from branches of isau ( Dimocarpus longan Lour. subspecies malesianus Leenh. var. malesianus ) for use in micropropagation. Asia Pac J Mol Biol Biotechnol 18(1):123–125

Lombello R.A., and Forni-Martins, E.R. (1998). Chromosomal studies and evolution in Sapindaceae. Caryologia, 51, 81-93.

Leenhouts PW (1971) A revision of Dimocarpus (Sapindaceae). Blumea 19:113–131.

Leenhouts PW (1973) A new species of Dimocarpus (Sapindaceae) from Australia. Blumea 21:377–380

Lin, T.X., Lin, Y., Ishiki, K., 2005. Genetic diversity of Dimocarpus longana in China revealed by AFLP markers and partial rbcL gene sequences. Sci. Hortic. 103 (4): 489–498.

Mariana BD. 2013.  Keragaman Morfologi Dan Genetik Lengkeng Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur. Informatika Pertanian. 22 (2): 95 – 102

Maron JL. et al. 2011. Rapid evolution of an invasive plant.http://www.esajournals.org. Diakses tanggal 24 September 2015.

Noor M, Saleh M, Subagio H, 2015. Potensi keanekaragaman tanaman buah-buahan di lahan rawa dan pemanfaatannya. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(6) : 1348-1358.

Northfield TD, Ives AR. 2013. Coevolution and the Effects of Climate Change on Interacting

Species. PLoS Biol 11(10)/journal.pbio. http://www.ploscollections.org/article/Diakses

tanggal 24 September 2015

Ouyang, R., Hu, G.B.,Wang, Z.H., 2005. The exploration, research and exploit of early-bearing litchi germplasm in China. China Trop. Agric. (5), 30–32.

Raven, P.H., Evert, R.F., & Eichorn, S.E.. (2005). Biology of Plants. Ed ke 7, WH Freeman and Company Publishers. New York.

Saputra, Sumarno Dwi dan Isto Suwarno. 2008. Panduan Budidaya Lengkeng Super. Lily Publisher. Yogyakarta

Sugiyatno, A. Dan Baiq D. Mariana. 2007. Studi Keragaman Morfologi Beberapa Varietas Lengkeng di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. Batu

Susi. 2014.  Potensi Pemanfaatan Nilai Gizi Buah Eksotik Khas Kalimantan Selatan.  Jurnal Ziraa’ah, 39 (3): 144-150.

Simpson, M.G. (2006). Plant Systemat-ics. Elsevier Academic Press. Amsterdam.

Subhadrabandhu S (1990) Lychee and longan cultivation in Thailand. Rumthai Publication, Bangkok, Thailand, 40 pp

Sharon, D., Adato, A., Mhameed, S., Lavi, U., 1995. DNA fingerprints in plants using simple-sequence repeat and minisatellite probes. Hortscience 30 (1): 109–112.

Smith MD. 2011. An ecological perspective on extreme climatic events: a synthetic         definition and framework to guide future.  Journal of Ecology. Diakses : 20 Oktober 2015.

Uji T. 2007.  Keanekaragaman Jenis Buah-Buahan Asli Indonesia dan Potensinya. Biodiversitas 8 (2): 157-167

Van Welzen PC, Lamb A, Wong WWW (1988) Edible Sapindaceae in Sabah. Nat Malaysiana 13(1):10–25

Viruel, M.A., Hormaza, J.I., 2004. Development, characterization and variability analysis of microsatellites in lychee (Litchi chinensis Sonn., Sapindaceae). Theor. Appl. Genet. 108 (5): 896–902.

Wallace R.A., Sanders G.P., & Ferl R.J. (1996). Biology, The Science of Life. 4th. Harper Collins College Publishers. New York.

Wong KC (2000) Longan production in Asia. RAP Publication, Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Of fi ce for Asia and the Paci fi c, Bangkok, Thailand, 44 pp

Wong KC, Gan YY (1992) The diversity of Dimocarpus longan ssp. malesianus var. malesianus in Sarawak. Acta Hortic 292:29–39

Yonemoto Y, Chowdhury  AK, Kato H, Macha  MM, 2006. Cultivars identification and their genetic relationships in Dimocarpus longan subspecies based on RAPD markers. J  Scientia Horticulturae. 109: 147-152.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar